Sore tadi untuk
kesekian kalinya saya kembali membaca buku yang berisi tentang pemikiran Soe
Hok Gie (Soe Hok Gie Sekali Lagi)
dalam buku tersebut terdapat tulisannya yang berisi tentang penolakan
kehadiran organisasi luar kampus untuk masuk dan berafiliasi dalam dunia intern
civitas. Saya bisa menangkap pemikirannya seperti ini “Bahwa dunia akdemi
haruslah bersih dari tunggangan-tunggangan partai, yakni dari organisasi yang menggunakan
nama mahasiswa, sebab jika hal itu sampai diacuhkan maka otomatis generasi yang
lahir akan menjadi genarasi tunggangan.”
Babak baru
dalam sejarah perkembangan organisasi non kampus yang menggandeng nama
besar mahasiswa diawali pada saat upaya untuk menjatuhkan pemerintahan
Soekarno, dan kemudian sempat Mati suri saat Orde baru, dan kembali hidup pada saat
Reformasi sampai sekarang.
Rasionalitas
kehidupan ber-organisasi dalam dunia kampus semakin hari semakin diracuni dengan
makin berpijaknya organisasi-organisasi non kampus yang kian erat
mencekeram kerak dunia civitas, akibatnya orisionalitas gerakan mahasiswa untuk
perubahan - kebanyakan hanya bergaung demi kepentingan para penunggang
organisasi yang berinfiltrasi dalam pemerintah. Kita semua tahu bahwa beberapa
organisasi luar yang memikul nama mahasiswa - sebagiannya ber-afiliasi dengan Partai-partai
politik, entah itu partai yang memiliki asas agama, nasionalis maupun sosialis.
Kecenderungan
infiltrasi organisasi non kampus kedalam dunia civitas diakibatkan oleh
lemahnya pengawasan dari petinggi-petinggi kampus, kurangnya rangsangan dari
petinggi lembaga untuk lebih menggiatkan gerakan yang berasal dari dalam
lembaga pendidikan itu sendiri, dan yang utama yakni usaha untuk
menguatkan akar organisasi luar kampus oleh anggota organisasi tersebut yang
telah memiliki kekuatan di pemerintahan. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri
yakni lantaran mahasiswa kurang mamahami gerakan infiltrasi politik ke dalam
kampus.
Saya sendiri
merasa heran dengan pergerakan-pergerakan organisasi yang sepertinya dibiarkan
bergerak, tumbuh subur dan menebar segala ranjau dalam track line lembaga
pendidikan (Perguruan Tinggi) baik itu milik pemerintah maupun suwasta, hal ini
diperparah dengan nilai kemurnian aksi mereka "Organisasi yang memikul
nama mahasiswa."
Semasa masih
menjadi seorang mahasiswa, saya yang notabene tidak berkecimpung dalam satu pun
organisasi yang datang dari luar dunia kampus - sangat merasa heran dan tak
habis pikir dengan salah satu kampus tetangga yang melaksanakan pemilihan
ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa.) Bagaimana tidak? pada saat penentuan
calon yang mendaftar, mereka di klasifikasikan oleh para Mahasiswa berdasakan
organisasi yang ia geluti, misalnya (HMI, PMII, GMNI, dll) bahkan yang lebih
parahnya para calon ketua tersebut dengan terang-terangan saling menyerang dan
menjatuhkan dengan menghalalkan segala cara dan taktik. dari situlah
timbul pertanyaan, Apakah mereka memiliki jiwa yang murni dalam pergerakan
nanti? Di mana karakteristik ke-mahasiswa-an yang katanya tidak akan tersentuh
kepentingan dunia luar? Kemana kontrol kampus terhadap organisasi yang datang
dari dunia luar itu." Dan yang terakhir, Mengapa Mahasiswa kita begitu
lemah dalam melihat lika-liku permainan politik yang menusuk dalam dunia
civitas?”
Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa para aktifis organisasi yang bergerak dan lahir dari luar
kampus memiliki andil besar dalam menggerakan roda penyeimbang dalam
pemerintahan, kita juga tidak bisa men-Just mereka "organisasi luar
kampus" (Orang-perorang) sebagai para budak belian, lantaran tentunya
tidak semua dari mereka memiliki nilai mines dalam perjuangan, dalam hal ini
kemurnian aksi dan reaksi terhadap perkembangan isu, hukum, politik dan
pemerintahan.
Namun ada
nilai pelajaran yang harus kita ketahui dalam menilai dan melihat seberapa jauh
dan pedulinya mereka pada isyu yang berkembang belakangan ini. Sebagai mana
kita ketahui bahwa nama seorang mantan petinggi organisasi luar kampus *A U N*
(inisial) yang masuk dalam susunan kabinet Indonesia Bersatu jilid II diisukan
terjerat kasus Proyek hambalang yang bernilai lebih dari Rp 1,5 triliun, disini
kita bisa melihat betapa nihilnya upaya aksi yang dilakukan oleh organisasi
yang pernah dikomandoi oleh *AUN* tersebut. Nihil bukan? Hal ini sangat
bertolak belakang dengan kasus-kasus lain yang selalu mereka "Organisasi
luar kampus" pantau dan mereka protes dengan aksi yang berbagai rupa.
Sekali lagi saya bertanya "Apakah selama ini murni perjuangan mereka,
apakah perjuangan itu dilandaskan oleh hati nurani serta berpihak pada kebenaran?"
Entahlah.
Apa yang harus
dilakukan? Tentunya semua komponen dunia akademisi haruslah memiliki tameng
terhadap infiltrasi kepentingan busuk yang menunggangi nama besar mahasiswa,
segala aspek itu harus dicegah dengan upaya petinggi-petinggi kampus untuk
menghidupkan orisionalitas idielasme mahasiswa. Salah satu caranya yakni dengan
menggiatkan kehidupan kampus yang berafiliasi dan memiliki konektifitas langsung
terhadap dunia civitas dan kepentingan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar