Senin, 24 Februari 2014

BENARKAH KAU PECINTA ALAM?
Image By : bahasa.aquila-style.com


Salam lestari….
Bukan maksud saya untuk mengucapkan kata pembuka di atas ‘Salam Lestari’ sebagai ucapan kekerabatan maupun ikatan antara sesama Pecinta Alam, namun kata tersebut adalah sebuah pintu gerbang guna membuka wacana dan wawasan kita bersama mengenai tanggung jawab, identitas, makna dan intisari dari kata yang selalu kita ucap dan agung-agungkan tersebut.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) lestari memiliki pengertian :  Tetap seperti keadaannya semula;Bertahan;Kekal. Dari pengertian lestari di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa kata yang sering kita ucapkan tersebut menandakan bahwa kita adalah manusia-manusia yang berusaha untuk menjaga alam beserta dengan isinya, kita adalah kumunitas yang berusaha untuk melestarikan alam, kita adalah kelompok yang berdiri di garda depan guna menyokong upaya pelestarian itu sendiri. Kenyataan yang ada sekarang ini, Pecinta Alam (Person) telah bergeser dari rel-rel dimana mereka harus berada, dimana mereka harus berpijak dan menebarkan makna dari kata Pecinta Alam dan makna dari Lestari tersebut.
Image By  : akhwatjoy.blogspot.com
Kegusaran hati ini lantaran menyaksikan parodi-parodi yang telah dilakoni oleh para person, bagaimana tidak! Kita yang semestinya menjaga agar alam tetap lestari kini malah asyik memperkaya story dengan track record petualangan yang kita miliki. Saya pesimis bahwa Pecinta Alam ke depan akan benar-benar menjadi Pecinta Alam, lantaran pemikiran kita selama ini kebanyakan hanya berkutat pada naik gunung, menikmati pantai, Caving dan hal-hal yang menantang adrenalin lainnya. Lantas apakah hanya itu fungsi, manfaat dan tanggung jawab kita terhadap alam, apakah hanya sebatas itu kita memaknai arti dari Pecinta alam? Apakah itu yang di maksudkan dengan salam lestari?
Sebagian besar dari kita yang mengaku sebagai Pecinta Alam bahkan berbenturan dalam menyikapi permasalahan Pecinta Alam. Bukan rahasia umum dan tak usah kita berbohong menutupi aib bahwa kita Pecinta Alam di wilayah ini, (Maluku) terbagi dalam beberapa segmen. Entah itu karena perbedaan pendapat maupun pola pandang dalam menyikapi permalsahan yang ada, ataupun ego komunitas. Nah, bukankah dengan begini kita telah mengabaikan kode etik? 
Image By  : www.acidatama.co.id
Belakangan ini saya semakin gusar dengan adanya person-person yang mejadikan alam sebagai tempat pelampiasan akan penatnya kehidupan, banyak di antara kita yang hanya menjadikan alam sebagai tempat untuk melakukan ritual Tutup Tahun dan hal-hal tidak penting lainnya. Sebenarnya hal ini, wajar-wajar saja apabila dibarengi dengan sikap dan perbuatan yang tetap berpegang teguh dengan kode etik dan hakekat kita sebagai Pecinta Alam. Saya ambil contoh tentang ritual dan kebiasaan tutup tahun yang diadakan di salah satu puncak di Kecamatan Leihitu. Beberapa hari setelah person-person yang membanggakan diri sebagai Pecinta Alam melakukan acara tutup tahun, saya dan tiga orang kawan dimintai bantuan dari 3 orang teman yang berasal dari Eropa untuk menemani perjalanan mereka ke puncak tersebut. Sepanjang perjalanan itu pula, saya dan teman-teman harus menanggung malu lantaran tindakan tidak terpuji yang ditinggalkan oleh person-person yang membanggakan diri, dan mengaku sebagai Pecinta Alam. Sampah plastik dibiarkan berserakan di sepanjang jalur pendakian. Hal yang lebih miris terjadi saat kami tiba di puncak. Sampah plastik dan kaleng-kaleng makanan siap saji berserakan di mana-mana. Mungkin tidak puas mengotori dengan sampah, person-person tersebut yang melakukan pendakian juga menebang pohon-pohon di sekitar puncak, hanya demi bisa menyaksikan pemandangan pesta kembang api di pusat kota dari atas puncak. Saya lantas berfikir benarkah person-person ini adalah Pecinta Alam? Dan seketika nalar saya mengatakan “tidak” mereka bukanlah Pecinta Alam, mereka hanya penikmat alam yang hanya bisa menikmati tanpa perduli dengan sisa-sisa sampah kebodohan dan perilaku pengrusakan yang ditinggalkan. Dan anehnya lagi ternyata yang selalu melakukan ritual tutup tahun di puncak tersebut adalah salah satu Komunitas Pecinta Alam (nama dirahasiakan), dan mereka pulalah yang memiliki andil mengenai penebangan pepohonan di puncak hanya untuk dapat menyaksikan pemandangan pesta kembang api di pusat kota. Selain itu, pada triangulasi terdapat nama-nama (person) yang melakukan kegiatan Vandalisme beserta nama kumunitas mereka, di antaranya ada komunitas pecinta alam dan komunitas seni. (untuk menjaga nama baik maka dokumentasinya tidak saya lampirkan).
 Yang lebih menggelitik lagi ada seorang Ketua Umum dari salah satu  Pecinta Alam mengatakan (kepada kawan saya)
Image By  : aini12165.wordpress.com
“Tindakan Vandalisme (Perbuatan merusak hasil seni, benda berharga lainnya/Keindahan alam) terhadap Triangulasi bukanlah suatu kesalahan lantaran triangulasi bukanlah bagian dari alam”. Benar-benar tidak masuk akal dan sangat menyesatkan pernyataan person tersebut, tapi saya pribadi dapat memkluminya, lantaran sebagian dari person yang mengakui diri sebagai Pecinta Alam juga tidak begitu tahu makna dan fungsi dari triangulasi.
Terlepas dari semua tulisan panjang lebar ini, saya hanya mengharapkan agar kita dapat kembali melakukan rekondisi mengenai pemahaman kita terhadap intisari dari Pecinta Alam yang sebenarnya.
Pecinta Alam seutuhnya bukanlah mereka yang selalu mendaki gunung, pecinta alam bukanlah mereka yang hanya haus akan sensasi meningktanya adrenalin. Namun Pecinta Alam adalah mereka yang peduli terhadap permasalahan lingkungan, kerusakan alam, permasalahan flora dan fauna hingga permasalahan sosial. Pecinta Alam bukanlah dia yang selalu mengumbar cerita tentang ganasnya hutan A atau Gunung B, Pecinta Alam bukanlah dia yang memiliki seabrek perlangkapan outdoor, Pecinta Alam bukanlah orang yang hanya pandai berpuisi, menulis dan ber-teaterikal menganai kerusakan lingkungan tanpa terlibat secara langsung dalam penanganan permasalahan lingkungan tersebut.
Rasa sedih atas des-orientasi penilaian terhadap makna dari kata Pecinta Alam sudah pasti dirasakan oleh mereka yang memang ada dengan niat tulus untuk mengbdi kepada alam dan lingkungan untuk menjaga, melestarikan dan melindungi. Dan puncak dari kesedihan tersebut sekiranya akan terus berlanjut apabila kita masih terus dibuat bodoh dengan pemahaman bahwa Pecinta Alam hanyalah dia yang mampu berpijak di puncak-puncak tinggi, di kedalaman perut bumi, dia yang pandai berteaterikal mengenai kerusakan lingkungan dan hal-hal yang bersifat semu.


Mari buka mata, lihat kedasar hati dan pantulkan suara kedinding daging tak bertuan milikmu
Bahwa inti dari pecinta alam bukanlah bertualang

Maluku membutuhkanmu
Aru mengharapkanmu
Dan tanah-tanah gersang haus akan bibit dari dalam genggammu.
Bibit penghijauan, bibit persaudaraan

Oleh: Muakrim M Noer Soulisa


Image By : #SAVEARU