Senin, 31 Desember 2012

TENTANG HADIAH YANG TELAH KUARTIKAN

Aku berada disini. ratusan mil laut dari tempat kelahiran. Di sebuah perkampungan dataran tinggi yang bersuhu rendah. Jauh dari hiruk pikuk kota dan kebisingannya. Di rumah panggung yang  difungsikan sebagai kantor darurat ini jualah aku berada, ditemani segelas kopi dengan takaran 1 banding 1, agak pahit dan rasa manisnya hanya muncul sekejap seiring dengan kepulan hawa panas yang cepat di hantam hembus angin. Di samping kiri; sekitar 1 Km dari sini terhampar perkampungan masyarakat pedalaman yang masih hidup dengan kesederhanaan. Di bagian utara puluhan bukit setinggi lebih dari 1000 m berjejer diselimuti halimun tipis yang kadang di usik nakal oleh angin. Aku barusan tiba disini (Kec. Kepala Madan, Kab. Buru Selatan- Maluku) pada pukul 8 pagi setelah melewati perjalanan melelahkan selama 3 jam dari kota Kabupaten (Namrole) dengan angkutan laut yang bobroknya minta ampun, dan kemudian disambung dengan menumpang mobil perusahan kayu menuju tempat dimana aku berada sembari menekan tuts keyboard. Perjalanan yang melelahkan dan membuat mual perut rasanya terbayar sudah dengan view yang tersaji dari tempat ini, belum lagi bonus jaringan yang lumayan bagus.
Ada satu hal yang ingin kutulis hari ini, dan mungkin adalah hal terkonyol yang pernah ada di blog ini, tapi tak apalah, hitung-hitung sudah lama gak ada postingan. ini juga terkait dengan kejadian semalam yang konstan terjadi. Yah, bukan kah sebuah sketsa hidup itu tidak hitam atau putih. Semuanya akan putih atau hitam begitu kau tahu nilai absolut dari nilai abu-abu.

Sumber Gambar : anekaremaja.com
*
Satu-persatu kuingat barang-barang pemberianmu. Satu-persatu tanggal  hadiah-hadiah itu - kau beri; coba untuk kuingat, sembari mencoba memutar kembali rekaman dalam otak tentang momen-momen itu, namun semakin kucoba untuk mengingat, semuanya semakin sia-sia. Sebab yang tertangkap hanyalah senyum manis yang terukir setiap kau kali menyerahkan hadiah yang belakangan baru kuketahui maknanya. Yah makna yang benar-benar brengsek.
Sekedar untuk kau tahu, bahwa semua hadiah-hadiah brengsek itu masih kusimpan hingga saat ini. Aku ingat benda pertama yang kau beri. Sebuah T-shirt putih dengan corak berwarna pink. Jujur aku benci warna coraknya, kau sendiri pun tahu kenapa aku alergi dengan warna alay yang satu itu. Mungkin kau tak tahu bahwa kaos yang kunamai the pinkers itu sering kupakai, walau hanya di dalam kamar pas waktu mau tidur, ratusan kali sudah benda itu kujadikan piyama sebagai baju kebesaran sebelum menemuimu di alam mimpi.
Kau ingat sandal seharga Rp.175.000 itu? maaf kini sudah putus dan tak layak pakai, tapi bangkainya masih ada hingga kini - tersimpan masih dalam kemasan plastiknya dan kuselipkan diantara gear outdor. Bagaimana dengan tas body pack hitam kecil itu,masih kau ingat juga bukan? Jangan khawatir manis, benda yang satu itu tempatnya bukan di kaki, jadi masih sangat layak.
Taukah kau apa yang paling kubenci di antara semua pemberianmu?
Jujur benda besi penunjuk mata angin itulah yang paling aku benci. Benda terkutuk itu pula yang hingga saat ini selalu stay on position. Tapi walau pun manjadi hadiah yang paling bangsat, kompas itu selalu kemana-mana kubawa, walau pun aku tahu tak mungkin nyasar di kota atau bingung menentukan utara dan selatan di tengah rimba beton dan hewan besi yang lalu-lalang.
Dua pasang sumpit. Benda itu pun masih ada, tapi terakhir kuingat yang sepasangnya ada sama kamu. ia kan??
Kau pasti ingin tahu kenapa hadiah-hadiah itu kusebut sebagai hadiah paling brengek yang pernah diberikan seseorang kepadaku.
T-shirt yang kunamai sesuka hati itu ‘the pinkers’ mengajarkan kelambutan kepadaku, membuatku ingat akan kata-katamu untuk tak selalu berbicara kasar mau pun melontarkan kata caci-maki yang dulunya seperti tak bisa lepas dari bibirku. Pink., Aku sendiri tak tahu kenapa warna itu menjadi momok. Mungkin karena kebanyakan wanita suka akan warna itu, mungkin karena aku teringat akan 3 laki-laki bodoh dan tolol di kampus dulu yang cara dandan dan kelakuannya mirip perempuan. Untuk kau tahu mereka bertiga suka akan warna itu, bahkan nama dari T-shirt pemberianmu itu terinspirasi dari ketiga lelaki brengsek yang suka memoles wajah dan sering mengunakan pelembab bibir itu. taukah kau apa nama geng ketiga lelaki tolol itu? kau benar., ‘The Pinkers’
          Sandal itu selalu mengajarkanku untuk terus melangkah, berlari, mengejar semua hal yang belum bisa kuwujudkan. Benda usang itu jualah yang selalu memberiku cambukan semangat saat rasa letih telah lilit tulang, memberiku keyakinan bahwa masih banyak target yang harus dikejar lalu di sejajarkan dengan grafik-grafik mimpi yang lebih dulu naik dari parameter. Bila perlu garis mimpi itu pun akan kulampaui, dan parameter baru pun tercipta; lebih tinggi tentunya.
          “P3K-nya? Oxy-nya sudah dimasukan ke bodypack kan?” itu kata yang selalu kau utarakan setiap kali kukabari bahwa aku akan jauh dari rumah untuk beberapa hari, hal itu tentunya karena kau tak ingin sesak nafas bregsek itu kambuh. Dan hasilnya benda itu pun menjadi perlengkapan wajib yang harus dibawa. Dan taukah kau, sering aku merasa bahwa benda itu bukanlah bodypack melainkan suster pribadi yang selalu setia disampingku. Tapi maaf, kadang suster itu juga kubebani dengan muatan berupa beer maupun arak tradisional.
          “Kau miliku, kau tau kemana mesti kembali”  Setiap kali aku jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang mengasih, jauh dari kau. Kalimat itulah yang terdengar dari benda penunjuk arah ini. Ada filosofi yang kumaknai bahwa sejauh apapun aku pergi, berapa pun wanita yang kugoda atau kucumbu tetapi aku adalah milikmu.
          Dan diantara itu semua ada satu makna dari benda kecil sederhana ; oleh-oleh ketika kau pulang dari negeri tirai bambu. Sumpit yang sepasangnya ada padamu - saat ini telah kuketahui maknyanya. Bahwa sekuat apa pun kita berusaha menjaga hubungan, sebesar apapun komitmen yang kita bangun dan jaga, maka kemungkinan untuk hidup sendiri-sendiri dan terpisah juga besar. Dan itu terbukti dengan apa yang telah terjadi sekarang, masing-masing dari kita harus melangkah sendiri dengan prinsip dan garis hidup yang tak boleh diganggu gugat.
Manisku, mulai saat ini masing-masing dari kita harus menemukan satu pasang sumpit yang lain. Biarkan masing-masing dari kita, menetukan langkah dan jejak seperti sandal usang pemberianmu. Lepaskan kehendakmu untuk mengarahkanku padamu seperti pilosofi kompas itu, simpan mimpi dan angan-angan kita kedalam pilosofi bodypack dan tinggalkan benda itu.
          Tanggalkan segala kepura-puraan seperti aku menanggalkan ‘the pinkers’ pemberianmu. Kita tak perlu bersandiwara dan bertopeng pada keterpaksaan. Karena akhirnya akan tetap seperti ini. Apakah kau masih mngingat apa yang pernah kuucapkan? "Dalam 1 detik apapun bisa terjadi." Kini hal itu terbukti sudah.

           Kopi dengan takaran 1:1 hampir habis dan aku harus kembali mengkroscek dan membuat dokumentasi pekerjaan.

Kecup hangat dikeningmu untuk yang terakhir kali.