(Oleh : Muakrim M Noerz
Soulisa)
Papua, Ambon, Aceh dan berbagai
daerah di Negara Indonesia sampai saat ini masih menyimpan serbuk TNT lengkap dengan detonatornya, itu
pertanda bahwa perjuangan dan semangat untuk memisahkan diri dari apa yang
dikatakan sebagai NKRI masih tersimpan dan bergelora dalam hati mereka yang
memiliki simpati. Tercatat pada penghujung tahun 2011 sebuah gebrakan di tiup
dari bagian timur Indonesia “Papua.” Suara dari tanah Mutiara Hitam yang
meminta Referendum langsung menghentak Jakarta.
“Saya yakin Tuan Presiden beserta staf dan mungkin juga tiang pilar
penyokong istana kepresidenan turut
merasakan hentakan itu. Hal ini terbukti dengan dilakukannya tindakan tegas
terhadap mereka-mereka yang hadir dalam kongres Papua Merdeka saat itu.” Aparat
keamanan langsung menerapkan prosedur mem-babi-buta, menembak, memukul,
menyeret bahkan hingga melenyapkan nyawa. Namun apa mau dikata! Toh, semua itu
demi keutuhan Negara yang di pimpin oleh sang Tuan Yang Terhormat.
Berangkat
dari polemik yang terjadi di tanah Papua - seharusnya para pe-lakon
pemerintahan bercermin pada proses pemerataan keadilan yang selama ini masih di
anggap pincang, sebab masih banyak Pekerjaan rumah yang harus dibenahi, baik
itu sosial, politik, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Saya sendiri,
bahkan semua orang yakin bahwa apabila kelima hal itu dibiarkan terkatung-katung ‘sosial, politik, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. ’ maka
percaya atau tidak percaya akan muncul berbagai permasalahan kebangsaan. Atau
yang lebih parah Negara Indonesia akan terbagi menjadi petak-petak kecil.
Semuanya
bisa di-analogikan seperti ini,
Papua
adalah brangkas serta tabungan, jika tabungan serta harta simpanan sudah tidak
lagi ada maka otomatis kestabilan ekonomi sebuah keluarga akan goyah, penghuni
rumah akan kelaparan, akan timbul gesekan antara kepala rumah tangga dengan
istri dan juga anak. Dan jika hal itu terjadi, para penghuni rumah akan merasa
sangat tidak nyaman berada dalam satu naungan atap. Mereka pastinya akan
berusaha mencari jalan keluar dengan caranya masing-masing agar bisa terlepas
dari belenggu yang ada “Kelaparan.” Kita semua tahu bahwa seseorang yang sudah
kerontang perutnya otomatis akan melakukan hal apa saja termasuk perihal yang
menyimpang.
Oleh
sebab itulah para pelakon sandiwara politik di Indonesia haruslah berusaha untuk
terus merebut hati masyarakat papua. Mengingat sumbangsih alam Papua begitu
sangat besar terhadap kemakmuran bangsa. Apa salahnya jika pemerintah lebih melihat
ke arah timur Indonesi yang selama ini selalu dimarjinalkan dan dibuat semakin
tersisih dalam eskalasi politik maupun sosial. Alih-alih pemerintah menerapkan OTSUS (Otonomi Khusus) untuk papua,
namun pemerintah sendiri seperti lepas tangan, laksana memberikan umpan tanpa
alat pancing. Para pemikir dan pihak yang punya wewenang seharusnya lebih giat
memantau apa yang disebut OTSUS itu. OTSUS telah terbukti gagal, dan
pemerintah seperti mencari kambing hitam dengan menyalahkan para pimpinan
daerah yang tidak becus mengurus dana tersebut. Hal ini lantaran fakta yang
mencuat ke permukaan tentang masih tingginya tingkat kemiskinan di masyarakat
asli Papua, pendidikan sampai saat ini masih menjadi barang yang super mahal,
kesehatan pun layaknya sebuah bukit karang terjal yang sulit untuk di-jamah.
Untuk politik pun Papua masih disepelehkan, ini terbukti dengan nihilnya tokoh
Papua dalam susunan orang-orang Istana selepas terjungkalnya Menteri Perikanan
Terlepas
dari kesemerawutan OTSUS marilah kita masuk pada inti dari tulisan saya kali
ini.
Terbebasnya
Papua dari NKRI akan menjadi gerbang penyambutan bagi daerah-daerah lain di
Negara Indonesia entah itu Ambon, Aceh, Jawa Barat, maupun daerah lainnya oleh
sebab itulah pemerintah seharusnya lebih jeli memperhatikan daerah-daerah
penabur Dolar dan daerah-daerah yang
memiliki potensi di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar