Kamis, 12 Januari 2012

MENUNGGU PECAHNYA BOM DES-INTEGRASI DARI TIMUR INDONESIA

(Oleh : Muakrim M Noerz Soulisa)

      Papua, Ambon, Aceh dan berbagai daerah di Negara Indonesia sampai saat ini masih menyimpan serbuk TNT lengkap dengan detonatornya, itu pertanda bahwa perjuangan dan semangat untuk memisahkan diri dari apa yang dikatakan sebagai NKRI masih tersimpan dan bergelora dalam hati mereka yang memiliki simpati. Tercatat pada penghujung tahun 2011 sebuah gebrakan di tiup dari bagian timur Indonesia “Papua.” Suara dari tanah Mutiara Hitam yang meminta Referendum langsung menghentak Jakarta.  “Saya yakin Tuan Presiden beserta staf dan mungkin juga tiang pilar penyokong istana  kepresidenan turut merasakan hentakan itu. Hal ini terbukti dengan dilakukannya tindakan tegas terhadap mereka-mereka yang hadir dalam kongres Papua Merdeka saat itu.” Aparat keamanan langsung menerapkan prosedur mem-babi-buta, menembak, memukul, menyeret bahkan hingga melenyapkan nyawa. Namun apa mau dikata! Toh, semua itu demi keutuhan Negara yang di pimpin oleh sang Tuan Yang Terhormat.
       
Berangkat dari polemik yang terjadi di tanah Papua - seharusnya para pe-lakon pemerintahan bercermin pada proses pemerataan keadilan yang selama ini masih di anggap pincang, sebab masih banyak Pekerjaan rumah yang harus dibenahi, baik itu sosial, politik, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Saya sendiri, bahkan semua orang yakin bahwa apabila kelima hal itu dibiarkan terkatung-katung ‘sosial, politik, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. ’ maka percaya atau tidak percaya akan muncul berbagai permasalahan kebangsaan. Atau yang lebih parah Negara Indonesia akan terbagi menjadi petak-petak kecil.
      Semuanya bisa di-analogikan seperti ini,
      Papua adalah brangkas serta tabungan, jika tabungan serta harta simpanan sudah tidak lagi ada maka otomatis kestabilan ekonomi sebuah keluarga akan goyah, penghuni rumah akan kelaparan, akan timbul gesekan antara kepala rumah tangga dengan istri dan juga anak. Dan jika hal itu terjadi, para penghuni rumah akan merasa sangat tidak nyaman berada dalam satu naungan atap. Mereka pastinya akan berusaha mencari jalan keluar dengan caranya masing-masing agar bisa terlepas dari belenggu yang ada “Kelaparan.” Kita semua tahu bahwa seseorang yang sudah kerontang perutnya otomatis akan melakukan hal apa saja termasuk perihal yang menyimpang.
      Oleh sebab itulah para pelakon sandiwara politik di Indonesia haruslah berusaha untuk terus merebut hati masyarakat papua. Mengingat sumbangsih alam Papua begitu sangat besar terhadap kemakmuran bangsa. Apa salahnya jika pemerintah lebih melihat ke arah timur Indonesi yang selama ini selalu dimarjinalkan dan dibuat semakin tersisih dalam eskalasi politik maupun sosial. Alih-alih pemerintah menerapkan OTSUS (Otonomi Khusus) untuk papua, namun pemerintah sendiri seperti lepas tangan, laksana memberikan umpan tanpa alat pancing. Para pemikir dan pihak yang punya wewenang seharusnya lebih giat memantau apa yang disebut OTSUS itu. OTSUS telah terbukti gagal, dan pemerintah seperti mencari kambing hitam dengan menyalahkan para pimpinan daerah yang tidak becus mengurus dana tersebut. Hal ini lantaran fakta yang mencuat ke permukaan tentang masih tingginya tingkat kemiskinan di masyarakat asli Papua, pendidikan sampai saat ini masih menjadi barang yang super mahal, kesehatan pun layaknya sebuah bukit karang terjal yang sulit untuk di-jamah. Untuk politik pun Papua masih disepelehkan, ini terbukti dengan nihilnya tokoh Papua dalam susunan orang-orang Istana selepas terjungkalnya Menteri Perikanan
      Terlepas dari kesemerawutan OTSUS marilah kita masuk pada inti dari tulisan saya kali ini.
      Terbebasnya Papua dari NKRI akan menjadi gerbang penyambutan bagi daerah-daerah lain di Negara Indonesia entah itu Ambon, Aceh, Jawa Barat, maupun daerah lainnya oleh sebab itulah pemerintah seharusnya lebih jeli memperhatikan daerah-daerah penabur Dolar dan daerah-daerah yang  memiliki potensi di masa depan.

Tidak ada komentar: