Aku berada disini. ratusan mil laut dari tempat kelahiran. Di sebuah perkampungan dataran tinggi yang bersuhu rendah. Jauh dari hiruk pikuk kota dan kebisingannya. Di rumah panggung yang difungsikan
sebagai kantor darurat ini jualah aku berada, ditemani segelas kopi
dengan takaran 1 banding 1, agak pahit dan rasa manisnya hanya muncul
sekejap seiring dengan kepulan hawa panas yang cepat di hantam hembus
angin. Di samping kiri; sekitar 1 Km dari sini terhampar perkampungan
masyarakat pedalaman yang masih hidup dengan kesederhanaan. Di bagian
utara puluhan bukit setinggi lebih dari 1000 m berjejer diselimuti
halimun tipis yang kadang di usik nakal oleh angin. Aku barusan tiba
disini (Kec. Kepala Madan, Kab. Buru Selatan- Maluku) pada pukul 8 pagi
setelah melewati perjalanan melelahkan selama 3 jam dari kota Kabupaten
(Namrole) dengan angkutan laut yang bobroknya minta ampun, dan kemudian
disambung dengan menumpang mobil perusahan kayu menuju tempat dimana aku
berada sembari menekan tuts keyboard. Perjalanan
yang melelahkan dan membuat mual perut rasanya terbayar sudah dengan
view yang tersaji dari tempat ini, belum lagi bonus jaringan yang
lumayan bagus.
Ada
satu hal yang ingin kutulis hari ini, dan mungkin adalah hal terkonyol
yang pernah ada di blog ini, tapi tak apalah, hitung-hitung sudah lama
gak ada postingan. ini juga terkait dengan kejadian semalam yang konstan
terjadi. Yah, bukan kah sebuah sketsa hidup itu tidak hitam atau putih.
Semuanya akan putih atau hitam begitu kau tahu nilai absolut dari nilai
abu-abu.
Satu-persatu kuingat barang-barang pemberianmu. Satu-persatu tanggal hadiah-hadiah
itu - kau beri; coba untuk kuingat, sembari mencoba memutar kembali
rekaman dalam otak tentang momen-momen itu, namun semakin kucoba untuk
mengingat, semuanya semakin sia-sia. Sebab yang tertangkap hanyalah
senyum manis yang terukir setiap kau kali menyerahkan hadiah yang
belakangan baru kuketahui maknanya. Yah makna yang benar-benar brengsek.
Sekedar
untuk kau tahu, bahwa semua hadiah-hadiah brengsek itu masih kusimpan
hingga saat ini. Aku ingat benda pertama yang kau beri. Sebuah T-shirt
putih dengan corak berwarna pink. Jujur aku benci warna coraknya, kau
sendiri pun tahu kenapa aku alergi dengan warna alay yang satu itu. Mungkin kau tak tahu bahwa kaos yang kunamai the pinkers itu
sering kupakai, walau hanya di dalam kamar pas waktu mau tidur, ratusan
kali sudah benda itu kujadikan piyama sebagai baju kebesaran sebelum
menemuimu di alam mimpi.
Kau
ingat sandal seharga Rp.175.000 itu? maaf kini sudah putus dan tak
layak pakai, tapi bangkainya masih ada hingga kini - tersimpan masih
dalam kemasan plastiknya dan kuselipkan diantara gear
outdor. Bagaimana dengan tas body pack hitam kecil itu,masih kau ingat
juga bukan? Jangan khawatir manis, benda yang satu itu tempatnya bukan
di kaki, jadi masih sangat layak.
Taukah kau apa yang paling kubenci di antara semua pemberianmu?
Jujur benda besi penunjuk mata angin itulah yang paling aku benci. Benda terkutuk itu pula yang hingga saat ini selalu stay on position.
Tapi walau pun manjadi hadiah yang paling bangsat, kompas itu selalu
kemana-mana kubawa, walau pun aku tahu tak mungkin nyasar di kota atau
bingung menentukan utara dan selatan di tengah rimba beton dan hewan
besi yang lalu-lalang.
Dua pasang sumpit. Benda itu pun masih ada, tapi terakhir kuingat yang sepasangnya ada sama kamu. ia kan??
Kau pasti ingin tahu kenapa hadiah-hadiah itu kusebut sebagai hadiah paling brengek yang pernah diberikan seseorang kepadaku.
T-shirt
yang kunamai sesuka hati itu ‘the pinkers’ mengajarkan kelambutan
kepadaku, membuatku ingat akan kata-katamu untuk tak selalu berbicara
kasar mau pun melontarkan kata caci-maki yang dulunya seperti tak bisa
lepas dari bibirku. Pink., Aku sendiri tak tahu kenapa warna itu menjadi
momok. Mungkin karena kebanyakan wanita suka akan warna itu, mungkin
karena aku teringat akan 3 laki-laki bodoh dan tolol di kampus dulu yang
cara dandan dan kelakuannya mirip perempuan. Untuk kau tahu mereka
bertiga suka akan warna itu, bahkan nama dari T-shirt pemberianmu itu
terinspirasi dari ketiga lelaki brengsek yang suka memoles wajah dan
sering mengunakan pelembab bibir itu. taukah kau apa nama geng ketiga
lelaki tolol itu? kau benar., ‘The Pinkers’
Sandal
itu selalu mengajarkanku untuk terus melangkah, berlari, mengejar semua
hal yang belum bisa kuwujudkan. Benda usang itu jualah yang selalu
memberiku cambukan semangat saat rasa letih telah lilit tulang,
memberiku keyakinan bahwa masih banyak target yang harus dikejar lalu di
sejajarkan dengan grafik-grafik mimpi yang lebih dulu naik dari
parameter. Bila perlu garis mimpi itu pun akan kulampaui, dan parameter
baru pun tercipta; lebih tinggi tentunya.
“P3K-nya? Oxy-nya sudah
dimasukan ke bodypack kan?” itu kata yang selalu kau utarakan setiap
kali kukabari bahwa aku akan jauh dari rumah untuk beberapa hari, hal
itu tentunya karena kau tak ingin sesak nafas bregsek itu kambuh. Dan
hasilnya benda itu pun menjadi perlengkapan wajib yang harus dibawa. Dan
taukah kau, sering aku merasa bahwa benda itu bukanlah bodypack melainkan
suster pribadi yang selalu setia disampingku. Tapi maaf, kadang suster
itu juga kubebani dengan muatan berupa beer maupun arak tradisional.
“Kau miliku, kau tau kemana mesti kembali” Setiap
kali aku jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang mengasih, jauh
dari kau. Kalimat itulah yang terdengar dari benda penunjuk arah ini.
Ada filosofi yang kumaknai bahwa sejauh apapun aku pergi, berapa pun
wanita yang kugoda atau kucumbu tetapi aku adalah milikmu.
Dan
diantara itu semua ada satu makna dari benda kecil sederhana ;
oleh-oleh ketika kau pulang dari negeri tirai bambu. Sumpit yang
sepasangnya ada padamu - saat ini telah kuketahui maknyanya. Bahwa
sekuat apa pun kita berusaha menjaga hubungan, sebesar apapun komitmen
yang kita bangun dan jaga, maka kemungkinan untuk hidup sendiri-sendiri
dan terpisah juga besar. Dan itu terbukti dengan apa yang telah terjadi
sekarang, masing-masing dari kita harus melangkah sendiri dengan prinsip
dan garis hidup yang tak boleh diganggu gugat.
Manisku,
mulai saat ini masing-masing dari kita harus menemukan satu pasang
sumpit yang lain. Biarkan masing-masing dari kita, menetukan langkah dan
jejak seperti sandal usang pemberianmu. Lepaskan kehendakmu untuk
mengarahkanku padamu seperti pilosofi kompas itu, simpan mimpi dan
angan-angan kita kedalam pilosofi bodypack dan tinggalkan benda itu.
Tanggalkan
segala kepura-puraan seperti aku menanggalkan ‘the pinkers’
pemberianmu. Kita tak perlu bersandiwara dan bertopeng pada
keterpaksaan. Karena akhirnya akan tetap seperti ini. Apakah kau masih mngingat apa yang pernah kuucapkan? "Dalam 1 detik apapun bisa terjadi." Kini hal itu terbukti sudah.
Kopi dengan takaran 1:1 hampir habis dan aku harus kembali mengkroscek dan membuat dokumentasi pekerjaan.
Kecup hangat dikeningmu untuk yang terakhir kali.