Oleh : eL_g.noer’z
Matahari sore mulai menyapaku lewat Fentilasi
kamar yang berkaca buram, cahayanya berusaha menerobos masuk menembus debu-debu
yang menempel sejak lama, maklumlah Aku bukan tipe manusia yang suka
bersih-bersih atau mendandani kamar. Kepulan asap masih terus menyembur dari
mulut, sementara di lengan kanan sebuah buku bercover warna merah dengan
sedikit corak kuning terdengar berteriak, "Bim, ayo baca lagi dong,"
Memang buku bisa bicara?? He he he he....
Konsentrasi yang tertuju pada buku di lengan
kanan tiba-tiba buyar setelah kupingku menangkap suara handphone berlayar hitam
putih di samping gelas kopi yang telah ku seruput sebahagian isinya. One new
messages. Tulisan itu nampak di layar Handphone butut kebanggaanku. Kunci
tombolnya Aku buka dan di sana kudapati kata-kata seperti ini, “Man Poster?
(Posisi Terakhir) Di mana? Jadi naik hari ini kan?” Pesan pendek dari si Ubi
mengingatkan aku pada janji yang telah kami tanda tangani dengan meterai Enam
ribu rupiah (cie ile gayanya) Tik tak tik tak tik tak tik tak.., bunyi tombol hp
jadul di sentuh jemari berkuku hitam yang bermaksud membalas SMS dari Si Ubi.
“Aku di rumah man. Oke Aku tunggu. Jangan lupa minuman penghangatnya. Oke Man?” Dan kemudian jempol yang juga berkuku hitam menyentuh tombol perintah pengiriman pesan. Beberapa detik kemudian di layar muncul kalimat messages sent. Setelah membalas pesan dari Si Ubi, Aku langsung Menyambar benda Panjang yang mengepulkan asap dari asbak lalu Aku dekatkan ke bibir, baru sekitar tiga kali hembusan asap, si jadul kembali bedering. Aku lalu membuka pesan dengan sebelumnya menebak bahwa pasti balasan pesan dari Si Ubi.
“Oke man. Tapi kamu maunya yang ber-Merk
apa yang kampungan?”
“Kau atur aja, yang penting jangan
berlebihan. Hanya untuk menghangatkan tubuh aja.” Setelah selesai
bercakap-cakap dengan Ubi lewat SMS selanjutnya Aku menuju Lemari yang terletak
tak jauh dari kasur tanpa ranjang. Beberapa lembar pakaian dari lemari Aku
keluarkan, satu buah celana pendek, satu buah Jeans yang hampir sobek di bagian
lutut dan pantat, sweeter yang lumayan tebal serta kaos hitam lengan pendek dan
Tak lupa Sarung tangan dan peralatan untuk naik gunung. Dum berwarna Biru
kuning menjadi penumpang terakhir di Carier yang berkapasitas enam puluh
liter setelah sebelumnya pakaian dan logistik untuk dua hari ke depan Aku
masukan. Boddy Pack hitam telah terisi kotak P3K dan dengan gerakan yang
sedikit kupakasakan akhirnya satu bungkus rokok kretek semakin membuat sesak
tas pinggang kecil tersebut. Cover Bag hijau hitam kemudian membalut carier
yang telah berisi. Si carier tampak begitu indah dan menggairahkan jiwa
petualangan.
“Ufh...Lumayan juga nih beratnya!” Gumamku
dalam hati setelah carier menancap di pundak. Handphonku kembali berdering
namun kali ini dengan tulisan di layar one pice enda calling.
“Hallo man. Kita masih nunggu si
ulhaq, kamu standby aja di rumah,” ucap pemilik suara di seberang sana.
“Memangnya dia lagi kemana? Ngapain?
Siapa-siapa sih yang ikut?” Rentetan pertanyaan mengalir dari mulutku.
”Dia, Aku, sama si Ubi. Dianya lagi ke
Tulehu. Katanya sih sebentar lagi sudah balik ke sini. Kemarin dia sempat
bilang kalau mau nyari kos-kosan buat sepupunya yang kuliah di sana”
“Kita naiknya jam berapa?” Tanyaku lagi.
”Tergantung kita sampenya ke situ. Pokoknya You
Stay aja Man”
”Otre
Man” Dan kemudian sambungan komunikasi pun terputus. Belum sempat si jadul
berlayar hitam putih Aku masukan ke saku celana, ia kembali bergetar.
“Yow My
Man” Ucapku membuka pembicaraan dengan Ubi.
“Bim cuaca di situ gimana?”
”Cerah” Jawabku singkat.
“Nah itu Aku bilang juga apa.” Suara Ubi terdengar di seberang sana sedang
bercakap-cakap dengan pemilik suara yang aku kenali sebagai Ulhaq dan Hendra.
Rupanya Ulhaq sudah sama-sama dengan yang lain.
“Halo Bim..” Panggilan si ubi membuyarkan
konsentrasiku yang berusaha menangkap pembicaraan si Ul dan Enda yang sedang
berbicara tak jelas.
“Gimana Man?”
“Kita mesti bawa logistik apaan nih dari sini?”
Tanya Ubi sementara suara Enda dan Ulhaq masih terdengar namun sama sekali tak
jelas.
”Makanan dan minuman siap saji saja. Kalo
soal makanan besar nanti Aku yang urus.”
”Oke oke... Eh Aku juga bawa penghangat nih.”
”Ah... Yang benar nih?”
”Ya udahlah kalau nggak percaya.”
”Percaya kok,” diiringi tawa kecil kalimat
tersebut kuucapkan.
“Udah dulu yah. Kita sudah pada mau meluncur
ke situ nih.”
”Sip.” Kemudian pembicaraan pun terputus.
Pukul 06.00 dan aku masih menanti kedatangan
setan-setan terbaik yang pernah ada di dunia ini. Waktu terasa semakin cepat
berlalu sementara tiga manusia yang Aku nanti-nanti belum jelas, bahkan belum
kelihatan bokong dan dengkulnya. Carier hitam bercorak biru miliku telah siap,
tepatnya di samping tiang pilar teras rumah yang dicat putih waktu lebaran satu
bulan yang lalu. Pandanganku tertuju pada dua ekor capung yang tengah
bermanuver lincah di atas kolam ikan yang di dalamnya terdapat lima ekor ikan
koi, tiga ekor mas, dua nila, dua mujair dan juga bocah-bocah mas berukuran
satu Centi Meter yang jumlahnya lebih dari sepuluh ekor. Pandangan pun Aku
alihkan ke arah matahari terbenam, corak jingga benar-benar memenuhi nuansa
langit sembari dihiasai awan-awan yang membentuk ombak bagai sunami raksasa di
angkasa sana. Lansekap pemandangan terasa makin seperti lukisan tatkala dua
ekor elang melebarkan sayapnya yang berkilauan terkena pantulan sinar jingga
dari sang bola raksasa yang makin tenggelam. Aku tarik nafas panjang berusaha
menyerap kekuatan dari indahnya alam pedesaan yang begitu tenang dan
menghidupkan. Tangan pun sengaja Aku gerakan untuk merogoh saku yang di
dalamnya bertengger satu batang rokok kretek. Sesaat kemudian kepulan asap
mulai mengalir dari bibir kering dan memenuhi udara di sekitar, tarikan demi
tarikan asap coba untuk kunikmati seiring manuver dua elang di atas langit yang
kian menjauh. Aku iringi dua ekor elang perkasa itu dengan tatapan yang bermkna
“ Aku ingin seperti kalian. Bebas bergerak dan bertualang” Baru saja kalimat
itu mengalir dari dalam hati, Tiba-tiba suara dari kepalaku menyentak kekaguman
pada Dua ekor elang yang telah menghilang.
“Kau tak perlu menjadi elang dengan sayap
kokoh yang menjelajah langit. Apa lagi menjadi capung di atas kolam itu, Kau
lebih hebat dari Semua yang kau anggap hebat di dunia ini. Yakinlah kawan,”
Suara dari diri sendiri pun menghilang, sementara Aku hanya terpasung dalam
diam dengan sedikit senyum tipis di bibir yang masih mengapit sebatang rokok.
Setelah
selesai berkemas dan mengecek kembali bawaan yang nantinya kami gunakan, Aku
sempatkan diri menikmati segelas kopi hitam yang agak kental sambil menikmati
awan tipis yang membalut puncak tujuan kami. “Hmmmm.......... Tenanglah kau
puncak, beberapa jam lagi Kau akan kembali Aku gagahi.” Si jadul kembali
berdering dan pesan pun Aku buka. Ternyata dari Enda,
“Cuaca di situ gimana? Bagaimana kalau kita
nyantai di pantai aja?”
“Cerah kok! Tapi terserah kalian aja” Balasan
SMS aku kirim walau pun ada sedikit rasa dongkol di hati atas apa yang barusan
disampaikan Enda, sementara di kepala timbul pertanyaan,
“Bukannya sudah ada kesepakatan”
07.30 ketiga orang yang dinanti-nanti belum
juga muncul. Perut telah keroncangan bahkan telah dangdutan. (he he he he...)
Belum sempat langkah kaki Aku tuntun menuju ruang makan dengan maksud mengisi
perut, motor yang Aku kenali Milik si Enda telah berada di depan rumah dan disusul
motor kepunyaan si Ulhaq. Tiga makhluk yang kunanti-nanti akhirnya tiba. Namun
alangkah terkejutnya Aku ketika Si Ubi tak nampak iIndra penglihatan. Aku
kembali menatap dengan seksama makhluk-makhluk aneh yang barusan tiba.
Tiba-tiba Aku merasa berada di depan kelas dengan baju safari, berdiri di
samping papan tulis sambil menggenggam Daftar Absensi Siswa.
"Ulhaq...,”
"Hadir Pak.”
“Hendra,”
“Hadir Pak.”
“Ubi,”
“Gak tahu Pak,” Jawab seonggok daging dengan
perut buncit, Kulit hitam dan breok yang mirip kambing Pak mansur tetanggaku.
“Isto... ! Si ubi mana?” Lamunanku menjadi
guru yang sedang mengabsensi para murid tiba-tiba hilang setelah pertanyaan
tadi Aku tujukan buat Si gendut dengan nama Isto.
“Tadi turun di rumah Om-nya. Bentar lagi
nyusul ke sini” Ucapnya seraya meletakan Back Pack dari Pundak. Kemudian Enda
dan Ul juga melakukan hal yang sama.
“Eh... Kita Naik gunung apa nyantai di
pantai?” Tanyaku sambil menatap si Ul yang telah bersandar di pilar teras
sembari mengunci resleting Carier Avtech-nya
“Nggak tahu nih... Terserah ajalah.
“Yang serius dong”
“Pokoknya terserah mereka saja lah” Jawab
Ulha
“Isto Kamu ikut kan?” tanyaku.
“ya iyalah.” Jawab Isto penuh keyakinan
sembari menatap Ubi yang telah memasuki pekarangan rumah.
“Weits.... My man....!!!” Aku sapa ubi
sambil berjabat tangan dengannya.
“Gi mana? Udah siap Jalan?” Tanyaku
“Ya iyalah.. ” Jawab Ubi penuh semangat.
“Broo...” Isto terdengar menyapa. Tapi kami
sama sekali tak tahu siapa yang Ia sapa. Sementara di wajahnya tersirat
kesedihan dan rasa pasrah yang mendalam.
“Kenapa man?” Suara dari Enda
meluncur, sedangkan wajahnya kelihatan serius dan penasaran. “Sebenarnya A..
A..A... Aku...,” Jawab Isto terbata-bata.
“Kenapa?” Timpal Ubi, Isto lalu menghebuskan
nafas, sepertinya Ia berusaha untuk tenang sebelum mengucapkan apa yang ingin
kami dengar.
“kenapa?” Aku yang juga telah penasaran tak
mau ketinggalan bertanya. Isto menatap kami satu persatu dan sejurus kemudian
kalimat pun meluncur dari mulutnya yang dihiasi Jenggot kambing. Ia pun
Akhirnya Bersuara “Jek.... Sebenarnya Aku ini Kuat mendaki. Pokoknya Aku kuat.
Tapi...”
“Tapi kenapa...?” Tanya Ulhaq.
“Tapi Aku kuatnya cuman dikit doang soalnya
kekuatanku udah disedot ini lemak” Seraya berkata demikian tangannya menggosok
perut yang kelihatan seperti Ibu-ibu hamil. Dia pun meneruskan. “Aku takut nih
bayi brojol di tengah perjalanan”
“kha.. kha... kha... Dasar Guoblok,” ucapku
seiring suara tawa yang semakin keras. Ubi, Ulhaq Dan Enda juga melakukan hal
yang sama, dengan Mulut yang Terlihat lebih besar terbuka dan suara Yang lebih
nyaring. “eits....... Jangan ketawa dulu” Suara si Isto kembali terdengar
keras, dan kedengaran sepertinya Dia marah. Setelah Kami tak lagi bersuara,
Isto kembali berbicara. Namun kali ini dengan wajah Merah menahan Emosi.
“Oke lah kalau Aku Kuatnya cuman sedikit” Aku
menatapnya dengan heran, Si Ul dan Enda juga kebingungan. Hanya Ubi saja yang
tampak memasang wajah siap meledakan tawa. Lalu Isto kembali melanjutkan
kata-katanya.
“Soal kuat okelah kalau Aku kuatnya Cuma
dikit doang. Tapi kalau soal ketampanan! Aku pasti lebih banyak bahkan Meluap
jek ” Suara tawa kembali memecah malam itu menyelingi persiapan pendakian kami.
“Isto... Kamu ikut yakin nggak ikut?” Tanya
Ubi seraya merapikan bawaannya
“Tadi kan Aku sudah bilang. Kamu ini
nanya-nanya melulu, akhirnya pusing jadinya nih." ia masih menyuguhkan
kami senyum canda. Aku menatapnya, “Jadi positif nggak ikut?”
“Iya jek... Aku pasti mampus di tengah jalan
kalau naik malam ini. Ini perut sudah makin buncit. Tapi kalau kalian ke pantai
Aku pasti ikut,” senyuman tipis penuh harapan mengiring kalimat yang lebih
pantas dibilang rayuan itu terukir di bibirnya yang hitam.
“Bim... Yakin nih malam ini kita naik?”
Setelah berkata demikian Ulhaq merapikan bawaannya.
“Yakin” Jawabku pendek.
Sabtu malam minggu ditemani terangnya sinar
bulan yang hampir sempurna bulatnya, Dua buah motor yang kami pakai akhirnya
membelah keheningan malam. Aku, Ubi sama Enda. Sementara Isto menjadi joki dan
ditumpangi Ulhaq. Motor melaju dengan kecepatan pas-pasan namun hal ini justru
menambah semangatku untuk menikmati suasana perjalanan malam ini. Setelah tiba
di desa yang kami tuju kami sengaja melapor ke kantor desa dan setelah mendapat
izin motor kembali mencumbu jalanan aspal licin menuju sebuah dusun kecil yang
merupakan jalur pendakian. Sebenarnya ada dua jalur menuju puncak, namun
mengingat kami ingin jalan santai maka jalur paling mudahlah yang kami ambil.
Kira-kira sekitar enam sebelas menit menempelkan pantat di jok motor kami pun
akhirnya tiba di sebuah dusun Kecil yang letaknya berdekatan dengan pantai. Dan
dari dusun ini jualah kami nantinya memulai pendakian. Ubi, Aku dan Ulhaq
beristirahat sejenak sembari menunggu Enda dan Isto yang lagi nitip motor. Satu
batang rokok aku sulut dan hal yang sama juga dilakukan Ubi. Samar Aku dengar
gemuruh ombak dan nyanyian dedaunan yang tertiup angin. Perlahan asap terkepul
dari mulut kami berdua, sementara Ulhaq tengah asyik mencumbu segelas air
mineral yang tadi Aku ambil dari dalam lemari es sewaktu di rumah.
“Ul... SMS si hendra dong! Bilangin tuh anak
jangan lupa beli kartu, biar sampai di atas kita gak bengong” Pinta si Ubi yang
semakin bernafsu menyemburkan asap dari mulut.
“Engge mas...” Ulhaq lalu mengeluarkan
Handphone dan sejurus kemudian jemarinya membawakan tarian balet di atas
keyboard namun sayangnya musik pengiring tarian bukanlah sebuah symphoni klasik
melainkan hanya bunyi poly phonic. Rokok di jemariku hampir habis dan suara
ombak masih aku nikmati seiring lalu lalang beberapa kendaraan. Orang-orang
tampak memandang kami dengan wajah yang bisa kuartikan sebagai pertanyaan,
“Ngapain sih nih orang-orang pada mau mendaki jam segini” Namun Aku hanya
melemparkan senyum tatkala tatapan-tatapan aneh mereka menghujam pada Kami.
Isto dan Enda tiba sebelum batangan rokok di jemariku habis.
“Isto... Benaran nih gak mau ikut?”
“Sory jek. Kayanya kali ini Aku nggak bisa
Ikut” Isto menjawab pertanyaan Enda.
“Kamu hati-hati baliknya.Dan Jangan ngebut”
Ucapku pada Isto sembari memberikannya senyuman.
“Ok jek... Eh kalian juga Hati-hati yah!”
“Yoi” Jawab Ulhaq dan Enda hampir bersamaan.
Jabat tangan dan senyum dari Kami yang Mau membelah malam tersaji untuk Isto
yang harus balik.
“Eh ingat.. Besok Jemput” Ulhaq mengingatkan
“Pokoknya tenang aja. Eh salam yah buat tuh
puncak”
“Si....p” Seraya mengangkat jempol kalimat tersebut
meluncur dari bibirku, Isto menghilang menembus malam. Penerangan dari
kendaraan yang dikendalikannya pun tidak lagi nampak saat Tikungan menghalangi
pandangan mata. Isto menghilang meninggalkan kami yang sebentar lagi harus
menyeok langkah menembus batasan kekuatan diri sendiri. Dingin angin malam
mulai menjamah tubuh kami berempat saat langkah-langkah kecil mulai membelah
jalanan setapak yang berbatu-batu. Di kiri kanan ilalang dan rumput liar tampak
melambai pelan tatkala dipaksa hembusan angin untuk bergoyang mengikuti irama
alam. Satu-persatu rumah warga dusun yang berpenarangan seadanya kami lewati.
Baru sekitar empat menit langkah terayun dan Kami melintasi sebuah dataran yang
cukup luas dan hanya ditumbuhi ilalang. Datarannya agak luas dengan warna tanah
yang merah kekuning-kuningan. Aku lalu teringat saat melintasi Oro-oro ombo
menuju puncak semeru tahun lalu.
“Ulhaq.. Ini dataran mirip Oro-oro ombo
ya..?”
“Hehehe.. Iya juga sih.” Ulhaq mengiyakan apa
yang barusan kusampaikan. Sementara Ubi nampak penuh bersemangat, mungkin
karena ini pendakian perdana baginya, bahkan dia orang yang paling berambisi
untuk tetap naik malam ini. Hal ini Aku ketahui tatkala kami beristirahat
sambil menunggu Isto dan Enda yang lagi nitip motor saat baru pertama tiba di
dusun tadi. Ubi sempat bilang kalau seandainya Ulhaq ataupun Enda nggak jadi
naik dia bakalan ngerayuku habis-habisan, bahkan siap menjadi pelampiasan jika
aku butuh kehangatan (ha hahaha haha). Aku ingin muntah saat mendengar
candaannya. Saat mendengar pengakuannya di bawah sana Aku sempat tersenyum
namun memaklumi keinginannya untuk tetap naik malam ini. Langkah kaki telah
mencumbu tanah yang agak becek dan lembab sekitar limah belas menit. Cahaya
rembulan begitu menggodaku untuk menikmati perjalanan malam ini. Suara jangkrik
dan serangga malam laksana alunan klasiknya bethoven yang mengantar ke empat
manusia muda membelah alam tuhan dalam balutan dingin malam. Langkah-langkah
semakin cepat berpacu sembari diiringi candaan kecil. Kodok-kodok berwarna batu
tampak sedikit terusik tatkala kami harus mengganggu ketenangan yang mereka
miliki. Tapi mau bagaimana lagi para kodok juga tak tahu diri, masa bercinta di
jalan setapak yang harus kami lalui. “Sory yah dok” Ungkapan lucu terdengar
dalam hatiku. Dingin yang awalnya merongrong tubuh kini mulai sedikit hilang.
Mungkin karena tubuh terus bergerak dan jantung makin kencang berpacu
mengimbangi gerakan kaki yang sedikit cepat bergerak dari biasanya. Aku berada
paling depan dengan satu buah senter sedang diikuti Enda kemudian Ubi dan pada
posisi belakang didiami Ulhaq. Kami sempat bercakap-cakap tentang indahnya
rembulan malam ini yang menembus celah dedauanan dengan temaram sinar yang
berusaha menyetubuhi tanah. Ubi nampak agak tenang dan jarang bersuara, tapi
hal itu bisa dimaklumi karena setahuku dari beberapa kali pendakian biasanya
orang yang baru pertama melakukan pendakian di suatu tempat yang baru akan
lebih nampak diam dari biasanya. Mungkin menikmati perjalanan atau juga sedang
mangagumi kebisuan malam dengan sejuta rahasianya.
“Opsss.... ” Suara itu terdengar dari
belakang dan Aku pun menghentikan langkah kaki lalu memalingkan tubuh ke arah
suara tersebut.
“Kenapa Bi?” Enda bertanya pada Ubi yang
sedang dalam posisi setengah jongkok.
“Putus jek!”
Seraya menatap alas kaki yang dikenakannya. Ulhaq memberikan penerangan dari
senter yang digenggamnya. Aku juga melakukan hal yang sama.
“Gak apa-apa. Cuman tali pinggirnya yang
lepas, Masih bisa digunakan kok,” ia bangkit dari posisi setengah jongkok
kemudian mengambil ancang-ancang untuk kembali bergerak.
“Yakin nih?” Tanya Ulhaq Seraya mengencangkan
carier.
“Yakin bos.” Ubi lalu memberi komando agar
Aku bergerak.
“Sip...!” Dan kami kembali membelah malam
menembus sejuta keindahan yang jarang disaksikan orang lain. Jalanan yang agak
becek serta bercabang-cabang hampir saja membuat kami tersesat. untungnya Ulhaq
masih menghafal jalur. Alhasil kami pun selamat dari jebakan alam yang kami
buat sendiri karena kurangnya konsentrasi. Pekat malam tak mampu mengalahkan
semangat sang rembulan yang menemani perjalanan kami kali ini. Pohon kelapa dan
pala nampak asyik berbincang dengan angin malam dalam bahasa yang hanya mereka
mengerti sendiri tapi setidaknya kami bisa kebagian sedikit ketenangan dari
perbincangan itu. Pohon cengkih siap panen nampak kelihatan terkena biasan
sinar bulan menghasilkan warna emas dengan campuran oranye. Harumnya tanah
becek bercampur dengan aroma cengkih menyebarkan keharuman dan memenuhi ronggah
hidung. Aku sempat bergumam dalam hati hal inikah yang mungkin membuat para
penjajah mau menjamah dan mencabik tanah maluku ini. Tanah yang kaya akan
segala potensi dari laut sampai ke gunung dari puncak sampai ke dasar samudera.
Namun apa yang ada sekarang nampak tak begitu menarik sebab maluku kini tak
jauh beda dengan pada jaman penjajahan. Yang nampak beda hanyalah gedung-gedung
tinggi yang becokol dan bercampur dengan tingginya Ego manusia yang tak tahu
lagi makna akan kebersamaan maupun tenggang rasa. Inikah bangsa yang dibanggakan
para politikus dan pemerintah? Inikah maluku atau lebih luasnya inikah
Indonesia. Indonesia yang mengagungkan kesetaraan dan keadialan. Keadilan macam
apakah itu, Grafik dalam otaku tak menemui titik dari keadilan itu.
“Break.....” Teriakan kecil dari Ubi
membuyarkan lamunanku tentang Negara goblok yang Aku diami ini.
“Gi mana bi?” Tanya Ulhaq yang telah
menggantikan posisiku sebagai pembuka jalan. Ubi nampak berusaha menstabilkan
pernapasan.
“Istirahat dikit yah”
“Di atas sana ada dataran kecil. Sampai di
atas aja yah!” Pinta Ulhaq
“Okelah kalau begitu.” Ucapan ubi menggunakan
dialog Tegal Menirukan sebuah lagu. Tawa lepas pun saling berebutan dengan
napas kami yang hampir habis.
“Maju Ul,” Enda yang berada pada posisi kedua
mengingatkan Ulhaq agar kembali melangkah. Dan tanpa pikir panjang, langkah
kembali terukir di atas tanah serta dedaunan kering. Aku tak mampu mambaca perasaan
apa yang ada di kepala Ubi. Tapi yang pastinya dia mungkin telah kelelahan
setelah kami sama-sama menaklukan tanjakan-tanjakan yang benar menguras tenaga.
Sepuluh menit telah berlangsung dan hampir tiga dataran kecil telah kami lewati
namun belum juga ada istirahat seperti yang dijanjikan Ulhaq. Aku bisa
memaklumi hal ini karena kami memang berpacu dengan waktu. Keringat makin
bercucuran membuat sedikit basah baju lengan panjang yang kukenakan. Nafas
semakin terasa sulit untuk dihirup karena beban di pundak dan kaki yang
melangkah lebih lama dari biasanya.
“Nanti kita
ngisi air dulu yah sekalian istirahat sejenak.”
“Ok broo” Ulhaq megiyakan perkataanku.
Setelah hampir satu jam berjalan menembus
pekat, melewati pulahan tanjakan, puluhan ribu pohon pala dan cengkih, Tiga
puluh tiga cerita konyol yang agak ngeres akhirnya kami tiba di dekat sebuah
sungai kecil. Namun untuk menapakan kaki di situ, Kami harus melewati turunan
yang cukup terjal, kalu tidak salah kemiringannya mencapai empat puluh lima
sampai dengan lima puluh derat. Otomatis harus ekstra hati-hati karena jika
sampai tergelincir maka bisa-bisa tidak akan ada kopi hangat atau pun sup di
puncak, keduanya digantikan perban dan bau obat-obatan rumah sakit. Jalan
setapak yang hanya bisa dilalui satu orang secara bergantian akhirnya bisa kami
lewati demi mendapatkan air untuk persediaan 2 hari kedepan. Untunglah bulan
benar-benar bersahabat dengan Kami malam itu. Tikungan-tikungan kecil kami
lewati dan suara gemericik air yang mencumbu bebatuan makin terdengar jelas di
telinga. Tak sabar rasanya untuk membasahi kaki yang terasa berat ini.
Dinginnya air benar-benar ampuh ketika kulit
pertama kali terbasuh. Satu persatu kami menurunkan beban dari pundak yang
terasa makin berat.
“Nih ngemil dulu buat nambah tenaga,” Enda membagikan
kepada kami masing-masing satu buah coklat kream batangan.
“Thanks broo...” Aku berikan kata terima
kasih itu padanya ketika benda yang diberikannya aku terima. Begitu juga dengan
Ubi dan Ulhaq yang langsung melahap dengan penuh nafsu. Sembari mengunyah Ulhaq
mengeluarkan botol kosong guna memasukan air sedangkan Enda mojok di samping
kali dan sesaat kemudian,
“Crooooot.....” Suara itu benar-benar
dinikmati enda. Ubi hanya tersenyum simpul memandangi Enda yang lagi buang air
kecil.
“Berapa tahun di Dinas Pemadam Pebakaran Pak?
Lincah benar mainin selangnya,” ledek Ubi yang kemudian membuat tawa kami
mengalahkan suara air sungai.
“Eh masih jauh lagi yah?” Sambil membersihkan
kaki sebelah kanan yang blepotan terkena tanah becek Ubi bertanya pada Ulhaq
tanpa memandang wajah orang yang ditanyainya.
“Akh... kau ini. Aku kan sudah bilang jangan
tanya kapan sampainya, nikmati aja perjalanan ini.”
“Tul broo..” Enda menimpali Ucapan Ulhaq
seraya menaikan celana.
“Aku sih cuman pengen tahu pastinya aja.” Ubi
kembali membersihkan kaki kirinya yang tidak kalah blepotan. Dan seandainya diadakan
lombah kaki yang mirip babi (maaf yah ubi, heheheh) Ubi yang akan memakai
medalinya.
“Ya udah sekarang mending gak usah banyak
nanya. Nikmati aja perjalan ini. Oke Man?” Jawabku diiringi gerakan tangan kiri
yang berusaha meraih jerigen berkapasitas lima liter dari dalam carier. Setelah
jerigen terisi penuh Aku kembali memasukannya ketempat semula. Irama air di
sungai kecil itu akhirnya harus kami tinggalkan guna melanjutkan perjalanan.
Saat carierku yang kini bertambah berat karena lima liter air itu aku sadingkan
di pundak, Ubi, Ulhaq dan Enda telah mengambil Ancang-ancang untuk melanjutkan
perjalanan.
“Ulhaq, kamu tetap di depan yah! Aku biar di
belakang.”
“Ok man...” Jawab Ulhaq.
Kami mulai mendaki kembali, menyusuri bibir
jurang dengan lintasan menyamping. Sebab jika kami harus mengambil jalur yang
sama sewaktu turun tentunya membutuhkan tenaga ekstra dan juga tingkat bahaya
yang besar.
“Bim gak berat tuh?” Ubi menanyakan hal
tersebut sambil menatapku. Aku sendiri tak tahu apa maksud dari tatapannya itu.
“Lumayan Broo.” Namun belum sempat selesai
jawaban dariku Ubi telah melangakah. Ulhaq, Enda, Kemudian berturut-turut Ubi
dan Aku yang paling belakang. Sama-sama kami dipaksa oleh hati untuk kembali meneruskan
perjalanan. Malam makin pekat sedangkan sinar bulan nampak emosi ketika awan
tipis merayu dan berusaha menutupi sinarnya, dan alhasil Ulhaq harus menyalakan
senter guna membantu penyinaran dari senter lumayan besar yang aku pegang. Ubi
menyalakan Hp yang memiliki fungsi senter, sedangkan Enda tetap tanpa
penyinaran. Tapi kami pikir Penglihatannya tetap aman walau pun matanya agak
sipit dan kecil (piss man, hehehe….)
“Tadi
katanya si diki mau ikut ya! Kok nggak jadi?” Kalimat itu meluncur begitu saja
tanpa perduli siapa yang Aku tanyai.
“Katanya sih dia lagi sibuk. Tadi sih
bilangnya begitu” Jawab mahluk yang berada di depanku.
“Emang sibuk apaan?”
“Gak tahu” Ubi lempeng.
“Padahal aku punya janji mau jalan sama itu
anak buat naklukain puncak ini,”
Diki adalah salah satu sahabat kami yang
punya hobi yang sama. Aku masih ingat betul saat perayaan tahun baru dua tahun
silam, tepatnya tahun 2008. Aku, Ulhaq, Ical, Enda, Isto dan Diki. Kami sama-sama mendaki dengan tujuan ke
puncak sebelah. Dan untuk menempuh puncak sebelah terlebih dulu kami harus
melewati puncak satu dan kemudian menempuh perjalan yang lumayan lama,
kira-kira tiga sampai empat jam untuk sampai di puncak yang luasannya Cuma
sekitar dua meter persegi itu. Namun saat itu terjadi sebuah kesalahan yang diakibatkan
oleh kelalaian kami semua. Tim terpecah menjadi dua, tapi bukan karena adu
argumen maupun terjadi salah faham. Namun kami nyasar di hutan hujan itu.
Hasilnya hanya sebagian dari kami yang sampai di puncak sebelah. Alhasil hanya
tiga orang dari kami yang bisa merayakan tahun baru di puncak sebelah. Namun
saat itu kami sama sekali tak merasakan nuansa Pesta kembang api di pusat kota
yang bisa disaksikan jelas dari puncak. Hal itu bukan saja karena gerimis dan
kabut serta angin kencang namun karena kami tak bisa bersama-sama dengan
kawan-kawan yang lain. Tapi yang tak habis pikir saat terpisahnya kami adalah
saat dari puncak satu menuruni lembah kecil menuju puncak sebelah jarak antara
rombongan pertama dan ke dua hanya terpaut sekitar sepuluh meter. setelah itu
kami tak bersama. Tak seorang pun di antara kami yang tahu mengapa hal itu bisa
terjadi. Bahkan saat di lembah kami masih sempat berteriak berharap ada balasan
suara dari kawan-kawan yang lain. Benar saja kami bertiga yang terpisah dari
rombongan pertama sempat mendengar balasan suara dua kali yang kami kenali
sebagai suara dari Si Ulhaq, padahal menurut ulhaq mereka sama sekali tak
mendengar panggilan kami otomatis tidak pernah menyahuti panggilan itu hal ini
kami ketahui ketika berkumpulnya kami di rumah keesokan harinya. Saat itu kami
semua kebingungan dan sempat mengalami disorientasi. Aku pun terpaksa dan harus
mengambil inisiatif. Jujur Sebenarnya Aku juga sudah tak bisa mengendalikan
diri, Inisiatif pun Aku ambil agar kami bisa sama-sama tenang. Aku temui Diki
dan Ical untuk meminta saran dari mereka.
“Bim-bim Aku percaya sama Kamu. Aku juga
yakin teman-teman yang lain pasti sedang menuju puncak sebelah” Ucapan diki
membesarkan hatiku.
“Ok. Sekarang Aku mau nanya. Kita Jalan terus
apa harus kembali?” Tanya Ical.
“Kita tenangkan diri dulu sambil berusaha
mencari tahu posisi mereka.” Sambil berkata demikian Tatapanku mendapati Diki
yang sedang membuka kancing tas pinggang dan mencari sesuatu di sana.
“Kalian lihat Hanphone Aku nggak?” Kalimat tersebut diucapkannya dengan sedikit
kepanikan yang nampak di raut wajah. Ical lalu membalas pertanyaan Diki,
“Koleksi bokep
yang kemarin di HP-mu masih ada kan? Ini lembah dingin, mana kabut tebal lagi.
Gi mana kalo si bobi kita buat panas dulu?
“Hahaha Goblooo..ooo..oook goblok.” Ledakan
tawa kami terasa lebih dahsyat dari atom yang meluluh lantakan Jepang.
"Eh.. bukannya Tadi Handphone milik kita semua diamankan Enda?!” Jawab ical dengan suara terbata-bata,
masih menahan tawa.
“Terus bagaimana kita bisa tahu posisi mereka?”
Diki agak menggerutu.
“Udah udah... Mending sekarang kita tenang
dulu, ngerokok yuk,”sambungku.
“Bagai mana sekarang!! Kita menuju Sebelah
atau kembali,” Diki menatapku dan sejurus kemudian tanyaku disela hembusan asap
rokok kami bertiga.
“Bim... Aku percaya sama Kamu. Lagian Aku
juga yakin Ulhaq dan yang lainnya pasti sedang menuju puncak sebelah”
“Okelah jika kita semua sepakat akan hal ini.”
Aku lalu menurunkan carier dan kemudian mengeluarkan golok kecil. Aku pandangi
ke dua kawanku itu.
“Kalian tetap di sini. Aku nyari jalur dulu. Siapa
Tahu bisa nemuin jejak mereka. Pokoknya jangan kemana-mana.”
“Kalo ketemu cewek manis jangan di-embat
sendiri yah!. Ingat, sisahin buat kita berdua,” canda Diki.
“Kalo gitu sementara kamu bebas make si ical,
aku gak bakalan cemburu kok, hahahaha” balasku di sela tawa kami bertiga yang
membuat lembah dingin berkabut itu serasa seperti bioskop yang sedang memutar
film humor.
Aku lalu bergegas meninggalkan mereka
menembus semak belukar yang berlumut tebal khas hutan hujan. Kabut membuat
jarak pandang hanya sekitar sepuluh meter. Dan setelah kurang lebih sepuluh
menit akhirnya aku berhasil menemukan jalur yang kami cari. Stream line dengan
tebasan golok Aku buat agar ketika kembali dari menjemput Diki dan Ical kami
tak lagi salah arah. Setelah yakin betul dengan jalur yang aku temukan langkah pun
menyusuri sungai kecil guna menjemput ke dua rekanku, saat jarak hanya terpaut
sekitar tujuh meter dari mereka, Si ical yang entah emosi atau melihat
kaganjilan di lembah ini langsung mengeluarkan makian yang benar-benar keras.
Aku bisa memaklumi itu karena si ical adalah tipe manusia yang sering
menyaksikan mahluk selain manusia. Aku sendiri tidak ambil pusing dengan hal
itu.
“Santailah Cal ucapku seraya berusaha
menenangkannya” Mungkin karena tak mau berlama-lama di lembah yang terkenal
akan mitosnya ini, aku pun menyarankan agar kita menuju jalur yang barusan Aku
temukan. Setelah berada di jalur lintasan Serempak Kami memanggil nama
kawan-kawan yang terpisah. Entah benar atau tidak kami bertiga mendengar
panggilan mereka dari atas sebuah bukit kecil yang merupakan jalur menuju
puncak sebelah. Langkah semakin cepat mengikuti suara mereka. Kami mendapati
tebasan di pohon yang sepertinya barusan dibuat lima menit yang lalu dan hal
itu benar-benar meyakinkan kami bahwa mereka telah duluan. Stream line
semakin banyak kami temukan dan hal itu benar-benar menyemangati langkah kami
yang sama sekali tak merasa lelah sedikit pun. Sekitar satu jam perjalanan kami
tiba di sumber air yang berada di kemiringan tujuh puluh derajat. Aku dan Diki
mengambil air sementara Ical standby menjaga perlengkapan. Di saat Kami berdua
kembali menaiki kemiringan 70 derajat Aku kembali mendengar panggilan dari
Ulhaq. Perjalanan kami pun berlanjut. Aku sengaja menghadirkan Obrolan dan
candaan agar kami tetap rileks, dan ternyata hal itu berhasil, kami terus
bercerita dan tertawa.
Kami kembali menemukan stream line di
tanjakan terakhir menuju puncak dan hal itu membuat kami tak lagi menghiraukan
rasa penat dan letih. Tanjakan terakhir telah terlewati dan puncak hanya di
depan mata terhalang lebatnya tumbuhan setinggi lutut. Namun karena jalur masih
tetap menanjak maka otomatis pandangan kami benar-benar terhalang. Saat tiba di
puncak kata pertama yang ingin aku ucapkan adalah, “Kalian tiba dari tadi?”
Namun kalimat itu tak pernah meluncur dari bibirku kala tak satu mahluk bernama
manusia pun yang aku temui selain Ical dan Diki.
Malam itu tak ada yang begitu perduli dengan
pesta kembang api di pusat kota yang bisa jelas kelihatan dari tanah tinggi
ini. Kami semua larut dalam pemikiran masing-masing. Berfikir tentang keadaan
ketiga kawan kami yang lainnya. Aku hanya bisa sesekali meyakinkan Diki dan
Ical bahwa Ulhaq, Enda dan Isto pasti baik-baik saja. Malam itu kami lewati
tanpa tidur lelap dan mimpi indah. Aku berusaha tetap tenang di dalam satu buah
ponco yang sebenarnya hanya mampu menampung satu orang, namun begitulah apa
yang kau miliki adalah milik bersama. Kami tidur, lebih tepatnya berusaha
tertidur. Sebenarnya kami bisa saja mendirikan tenda praktis (dum) Namun kami
hanya memiliki Tulangannya saja sebab yang lainnya di bawa oleh Enda. Pagi
harinya di hari pertama tahun 2008 kami kembali berkemas dan makan seadanya.
Pelengkapan kami siapkan dan kemudian tanpa pikir panjang kami memutuskan untuk
kembali menyisir punggungan puncak sekalian pulang, demi memastikan keberadaan
rekan-rekan yang lain. Setelah Hampir tiga jam berjalan dengan langkah cepat
dan tanpa istirahat sedikit pun, kami akhirnya tiba di lembah yang membuat kami
terpisah. Dari bawah lembah melalui sela-sela pepohonan Kami bisa menyaksikan
para pendaki yang lainnya di puncak yang lain. Perasaan agak tenang ketika
melihat banyaknya para pendaki atas puncak sana. Dalam hati Aku berharap semoga
saja rekan kami juga ada di sana. Setalah kaki menapak di puncak Kami
melemparkan pandangan ke arah pendaki yang lainnya berharap menemukan
sosok-sosok yang kami cari.
“Eh bro... Lihat rekan kami yang kemarin
sama-sama turun ke lembah nggak?” Tanya Diki kepada salah seorang pendaki yang
kemarin kami temui di puncak ini.
“Nggak Broo. Kemarin kalian sama-sama ke
puncak sebelah kan?” Setelah mendapatkan jawaban demikian Diki lalu
menghampiriku Tanpa perdui dengan pendaki yang balik bertanya padanya.
“Bim... Kita kayaknya harus turun sekarang.
Mereka juga nggak ketemu Isto dan yang lainnya” Ucap diki kemudian disambung
oleh Ical.
“Mereka juga nggak ngelihat Bim” Ical
mengatakan hal itu sembari menunjuk tiga orang pendaki yang tengah bersiap
untuk turun.
“Kalau begitu kita langsung turun sekarang.”
Tanpa pikir panjang carier kembali menancap di pundak dan sebelum Turun kami
sempat bersalaman dengan para pendaki yang lainnya. Perjalanan turun kami
tempuh hanya dalam satu jam, ketika tiba di sebuah sungai besar yang
dipungsikan sebagai Pos peristirahatan sebelum menempuh perjalanan yang
melelahkan ke puncak kami sempat melakukan komunikasi dengan rekan-rekan yang
lain melalui Handphone yang Kami pinjam dari para pendaki yang kami temui di
sebuah Pos peristirahatan. Hasilnya benar-benar memuaskan. Ternyata mereka
telah tiba di rumah pada hari di mana Kami Terpisah. Rasa haru dan gembira
menyelimuti perasaan Kami bertiga.
“Bim... bim..... bim-bim...!!! ” Tiba-tiba
otakku yang memutar memori 2 tahun silam Menjadi kabur lalu Perlahan-lahan
mataku disilaukan cahaya senter milik Ubi yang Akhirnya menyadarkan Aku dari
Lamunan. “Kok dari tadi diam melulu,"
”Lagi nikmati Kelelahan ini broo..” Ucapku
seraya mengisi paru-paru dengan udara.
“Wuihhh.... Aku cape man!” Sambung Ubi
”Istirahat aja kalau dipaksain nanti malah
droop.” timpal Enda
“Ulhaq.. break” Namun Sebelum dua kata itu
selesai kuucapkan Ubi telah bersandar pada pohon. Entah pohon apa itu, tapi
yang pasti aku yakin dia menikmati sandaran itu seperti sofa empuk di ruang
tamu rumahnya.
“Istirahat dulu man... Aku cape nih..!” Keluh
Ubi seraya mengarahkan cahaya senter ke arah Ulhaq.
“Minta Air dong.”
“Nih..” Ulhaq lalu membuka kancing carier dan
mengeluarkan botol berisi air dan menyerahkannya. Aku tak mau ketinggalan, setelah
menenggak air, satu bungkus rokok kretek aku keluarkan dari tas pinggang dan
mulai menambah kabut yang tebal dari bawah lembah dengan asap yang mengapul
dari mulutku. Kami ramai-ramai berlomba mengepulkan asap berusaha menahan hawa
dingin yang makin menusuk. Setelah itu masing-masing dari kami mulai mengalir
dalam sungai pikirannya. Aku tak tahu apa yang ada di benak kambing hutan yang
lainnya. Yang pasti aku menikmati perjalan ini.
Hamparan
langit maha sempurna
Bertakhta
bintang-bintang angkasa
Namun
satu bintang yang berpijar
Perlahan
turun menyapa akuAda tutur kata terucap
ada
damai yang urasakan
Bila
sinarnya sentuh wajahku. Kepedihan pu u u….n Terhapuskan……………..
Kami pun mengikuti dengan tenang, berusaha
untuk meresapi makna dari arti lirik Padi yang mengalun dari Hp milik Enda,
seraya perlahan bernyanyi bersama kabut, dan tiupan kencang angin - disaat
manusia yang lainnya tengah menikmati hangat selimut serta kasur yang empuk. No woman no cry (bob marley), di sahidan
(Shagy Doog), apa kabar kawan (Stevan and The Coconut Treaz), Padi lagi, Bob Marley
lagi. Begitu seterusnya.
“Huuufh…..damai yah…!” Ucap ubi di sela lirik-lirik
lagu dari Bob Marley tengah mengalun. Seraya menghembuskan nafas dan memejamkan
mata, ia membiarkan wajahnya ditampar angin dingin dari lembah.
“Yo man. Damai.” jawabku seraya menarik nafas
panjang, berusaha menelan semua ketenangan yang tersaji. enda menekuk lututnya
merapat ke dagu, di tangan kanannya terjepit rokok yang mulai habis.
“Ketenangan ini terlalu indah,” mulutnya
menyemburkan asap.
“Damai kawan, tenang.” Timpal Ulhaq. Kami lalu
larut dalam ketenangan yang menghanyutkan, meluluh lantakan semua masalah serta
persoalan yang ada dalam jiwa, setidaknya untuk sementara waktu kami tak ingin
ketenangan ini sirna. Beberapa tegukan air, Lima belas menit menit, beberapa batang
rokok, beberapa lagu dan sujuta ketenangan harus kami tinggalkan guna menempuh
sisa perjalanan menuju puncak.
Langkah kaki semakin semangat menapaki bumi
meninggalkan aroma becek tanah, setengah jam melangkah dari tempat istirahat
jalanan menjadi semakin menanjak tanpa becek tanah. Kaki kini telah menginjak
lumut di sepanjang jalur menuju puncak, pepohonan sudah tak lagi setinggi pala
dan cengkih yang kami lewati saat baru mendaki tadi, dahan,dahan yang menghalangi
jalan semakin menantang ditambah jarak pandang yang kian terbatas, bukan saja
lantaran pekat malam yang tak lagi ditemani rembulan tetapi karena kabut yang
semakin bernafsu bertiup dari lembah. Langkah serta nafas saling memburu, beban
di pundak sudah tak lagi terasa karena digantikan semangat yang kian memacu,
bunyi nafas yang tersengal deri hidung kami berempat akhirnya menghasilkan
candaan. Ubi pun lalu memulai banyolannya,
“Lama-lama kita makin mirip sapi yah. Bunyi
nafas udah mantap kayak sapi yang ngos-ngosan, tinggal ekor sama tanduk doang
nih!”
“Kita? Kamu aja kali.” Balas Ulhaq.
“Benar, seratus untuk Ulhaq,” timpal Enda diiringi
ledakan tawa kami ber-empat.
“Nah, sebentar lagi kan hari raya qurban nih,
jadi sebagai umat yang taat beragama, baik hati dan tidak sombong, maka dengan
ini saya menyerahkan satu ekor sapi jantan yang kadang jadi sapi Gay untuk disembelih,” sambil memasang
wajah ramah dan manis se manis-manisnya kalimat itu kuucapkan, namun wajah
manisku tak bertahan lama sebab tawa kembali menggelegar memecahkan malam yang
berkabut.
“Hahahahaha… anjreeeeeettttt,” balas Ubi
“Break
sebentar yuk.” Ucapku, diangguki Enda. Tanpa menunggu lama masing-masing dari
kami merebahkan tubuh sambil mencari sandaran yang nyaman. Tak perduli pohon
yang kami gunakan sebagai sandaran tersebut kecil atau lapuk yang pasti kami
menikmati waktu istirahat yang ada. Kira-kira lima menit berselang carier pun
kembali bersarang di pundak masing-masing dan perjalan kembali berlanjut.
Langkah-langkah pelan kini tak lagi ada, digantikan langkah cepat dengan tenaga dan
nafas yang tersisa. Di depan mata yang tersaji hanyalah ranting-ranting kering
bercampur belukar setinggi lutut serta pohon-pohon yang semuanya terlihat
berwarna hitam. Rata-rata tanjakan kini empat puluh lima derajat bahkan lebih
dan hal ini otomatis membuat tenaga benar-benar terkuras. Pandangan aku alihkan
ke langit yang dihalangi ranting pohon, bias cahaya dari rembulan tembus
melewati dedaunan menyajikan jarum-jarum cahaya putih seperti menghujam bumi
dengan sinar peraknya. Suara angin dari lembah curam di kanan dan kiri jalur
lintasan terdengar merdu, menusuk sampai di dinding hati melebihi sayap-sayap
patah karya khalil gibran. Pada tikungan kecil curam yang hanya bisa dilalui
satu orang secara bergantian tersaji sebuah pohon tumbang yang berdiameter
sedang. Aku dan ulhaq sengaja berhenti bukan karena kelelahan atau pun ingin
mengatur nafas. Dan sesaat kemudian Ulhaq pun membuka suara di antara nafasnya
yang belum beraturan.
“Ubi!”
“Yo man”
“Ayo cepat sini,” balas Ulhaq. Aku pun
memberi jalan untuk ubi. Si jangkung yang bernama ubi pun lalu melewatiku
dengan klakson yang tak beraturan dari hidung, alias nafas yang benar-benar
mirip sapi yang telah berlari puluhan kilo meter.
“Kamu di depan yah!” Pinta Ulhaq.
“Memangnya kamu kenapa?”
“Nggak. Sudah jangan banyak omong,” Enda
menimpali.
“Okhelah khalou bheghitu” jawab ubi dengan
suara yang di buat keluar dari kerongkongan. Dan kami hanya senyum mendengar
lantunan tersebut. Ubi yang bertubuh jangkung tak perlu waktu lama untuk
melewati pohon tumbang di depannya, kemudian disusul Ulhaq dengan langkah yang sama
entengnya. Sementara aku dan enda yang berpostur kecil terpaksa bersusah payah.
Aku sendiri tak mau ambil pusing dengan gaya dan posisi apa yang aku gunakan
saat melintasi kayu tumbang tersebut, toh ini bukan lomba lari halang rintang
atau pun lompat tinggi yang akan di-deskualifikasi apa bila salah mengatur
gerakan. Dengan kaki yang telah berjam-jam melangkah hal terasa sedikit sulit
dari biasanya, namun apa daya tak ada jalan lain selain melintasi raksasa tidur
berkulit kasar yang seenaknya rebahan di atas tanah tanpa memikirkan perasaan
kami. Perlahan kaki kiri aku naikan, berusaha agar bisa menunggang kayu,
disusul kaki kanan, namun sial tak dapat dihindari. Aku tersungkur di atas
raksasa tidur tersebut bukan karena tak mampu melangkah, namun dikarenakan si
brengsek Ubi yang berteriak dan mengeluarkan suara yang sumpah benar-benar
keras.
“Anjreeeeeee…………t
. Wuih….. perfect.. Beautiful man….................”
Aku yang kaget atas teriakannya tersebut hanya tersenyum. Setelah melewati si
pohon tumbang brengsek.
“Perfect ya.” Enda mendekati Ulhaq dan Ubi. Aku pun tak mau diam
segera kususul kawanan sapi liar yang telah berada di tanah datar - samping
triangulasi. Asap kelihatan mengepul dari bibir kami ber empat. Tak ada suara
lagi setelah masing masing orang sibuk dengan keindahan yang tersaji.
Lampu-lampu kota laksana titik-titik noda kecil. suara angin lembah yang seakan
mengucapkan selamat datang untuk kesekian kalinya terdengar semakin dramatis.
Di kanan dan kiri hamparan padang garam cair dengan beground garis pulau yang
menghitam karena pekat malam. Perahu-perahu kecil dengan penerangan yang hampir
tak dapat ditangkap mata - seperti tak bergerak di air asin raksasa. Refleksi
cahaya bulan terpampang di riak air laut menyajikan lansekap keindahan yang tak
bisa dibeli. Kami hanyut dalam kedamaian masing-masing mencoba merenungi
tentang jalan hidup yang kami pilih. Mendekat kepada alam dengan segala
konsokwensi tentang keindahan dan misteri yang ada.
Kabut semakin tebal namun cahaya bulan tetap
setia menghujami kami dengan siraman cahaya. Sementara rasi-rasi bintang
seperti menyatu . Di mataku huruf bentukan rasi bintang kukenali, dan aku tahu
apa yang terukir di langit yang ada dalam imajinasiku. Kupejamkan mata sejenak
dan membiarkan wajahku diterpa kabut dan dingin tanah tinggi ini. Hembusan
pelan asap rokok disirnakan angin yang berhembus kencang. Saat kelopak mata
kembali terbuka aku masih menyaksikan rasi bintang yang saling menyatu
membentuk kata itu. Dan senyum pun terukir di bibir saat membaca rangkaian
kalimat yang hanya bisa kulihat sendiri, hanya bisa dilihat dengan hati.
**************Selesai***************
2 komentar:
asek asek..
#Mara Hitu :
hehehe... Thanks brada dah berkunjung
:)
Posting Komentar