Rabu, 28 Desember 2011

Cerita Dari Tanah Tinggi
Oleh : eL_g.noer’z


Matahari sore mulai menyapaku lewat Fentilasi kamar yang berkaca buram, cahayanya berusaha menerobos masuk menembus debu-debu yang menempel sejak lama, maklumlah Aku bukan tipe manusia yang suka bersih-bersih atau mendandani kamar. Kepulan asap masih terus menyembur dari mulut, sementara di lengan kanan sebuah buku bercover warna merah dengan sedikit corak kuning terdengar berteriak, "Bim, ayo baca lagi dong," Memang buku bisa bicara?? He he he he....
Konsentrasi yang tertuju pada buku di lengan kanan tiba-tiba buyar setelah kupingku menangkap suara handphone berlayar hitam putih di samping gelas kopi yang telah ku seruput sebahagian isinya. One new messages. Tulisan itu nampak di layar Handphone butut kebanggaanku. Kunci tombolnya Aku buka dan di sana kudapati kata-kata seperti ini, “Man Poster? (Posisi Terakhir) Di mana? Jadi naik hari ini kan?” Pesan pendek dari si Ubi mengingatkan aku pada janji yang telah kami tanda tangani dengan meterai Enam ribu rupiah (cie ile gayanya) Tik tak tik tak tik tak tik tak.., bunyi tombol hp jadul di sentuh jemari berkuku hitam yang bermaksud membalas SMS dari Si Ubi.

“Aku di rumah man. Oke Aku tunggu. Jangan lupa minuman penghangatnya. Oke Man?” Dan kemudian jempol yang juga berkuku hitam menyentuh tombol perintah pengiriman pesan. Beberapa detik kemudian di layar muncul kalimat messages sent. Setelah membalas pesan dari Si Ubi, Aku langsung Menyambar benda Panjang yang mengepulkan asap dari asbak lalu Aku dekatkan ke bibir, baru sekitar tiga kali hembusan asap, si jadul kembali bedering. Aku lalu membuka pesan dengan sebelumnya menebak bahwa pasti balasan pesan dari Si Ubi.
“Oke man. Tapi kamu maunya yang ber-Merk apa yang kampungan?”
“Kau atur aja, yang penting jangan berlebihan. Hanya untuk menghangatkan tubuh aja.” Setelah selesai bercakap-cakap dengan Ubi lewat SMS selanjutnya Aku menuju Lemari yang terletak tak jauh dari kasur tanpa ranjang. Beberapa lembar pakaian dari lemari Aku keluarkan, satu buah celana pendek, satu buah Jeans yang hampir sobek di bagian lutut dan pantat, sweeter yang lumayan tebal serta kaos hitam lengan pendek dan Tak lupa Sarung tangan dan peralatan untuk naik gunung. Dum berwarna Biru kuning menjadi penumpang terakhir di Carier yang berkapasitas enam puluh liter setelah sebelumnya pakaian dan logistik untuk dua hari ke depan Aku masukan. Boddy Pack hitam telah terisi kotak P3K dan dengan gerakan yang sedikit kupakasakan akhirnya satu bungkus rokok kretek semakin membuat sesak tas pinggang kecil tersebut. Cover Bag hijau hitam kemudian membalut carier yang telah berisi. Si carier tampak begitu indah dan menggairahkan jiwa petualangan.
“Ufh...Lumayan juga nih beratnya!” Gumamku dalam hati setelah carier menancap di pundak. Handphonku kembali berdering namun kali ini dengan tulisan di layar one pice enda calling.
“Hallo man. Kita masih nunggu si ulhaq, kamu standby aja di rumah,” ucap pemilik suara di seberang sana.
“Memangnya dia lagi kemana? Ngapain? Siapa-siapa sih yang ikut?” Rentetan pertanyaan mengalir dari mulutku.
”Dia, Aku, sama si Ubi. Dianya lagi ke Tulehu. Katanya sih sebentar lagi sudah balik ke sini. Kemarin dia sempat bilang kalau mau nyari kos-kosan buat sepupunya yang kuliah di sana”
“Kita naiknya jam berapa?”  Tanyaku lagi.
”Tergantung kita sampenya ke situ. Pokoknya You Stay aja Man
Otre Man” Dan kemudian sambungan komunikasi pun terputus. Belum sempat si jadul berlayar hitam putih Aku masukan ke saku celana, ia kembali bergetar.
Yow My Man” Ucapku membuka pembicaraan dengan Ubi.
“Bim cuaca di situ gimana?”
”Cerah” Jawabku singkat.
“Nah itu Aku bilang juga apa.” Suara  Ubi terdengar di seberang sana sedang bercakap-cakap dengan pemilik suara yang aku kenali sebagai Ulhaq dan Hendra. Rupanya Ulhaq sudah sama-sama dengan yang lain.
“Halo Bim..” Panggilan si ubi membuyarkan konsentrasiku yang berusaha menangkap pembicaraan si Ul dan Enda yang sedang berbicara tak jelas.
“Gimana Man?”
“Kita mesti bawa logistik apaan nih dari sini?” Tanya Ubi sementara suara Enda dan Ulhaq masih terdengar namun sama sekali tak jelas.
”Makanan dan minuman siap saji saja. Kalo soal makanan besar nanti Aku yang urus.”
”Oke oke... Eh Aku juga bawa penghangat nih.”
”Ah... Yang benar nih?”
”Ya udahlah kalau nggak percaya.”
”Percaya kok,” diiringi tawa kecil kalimat tersebut kuucapkan.
“Udah dulu yah. Kita sudah pada mau meluncur ke situ nih.”
”Sip.” Kemudian pembicaraan pun  terputus.

Pukul 06.00 dan aku masih menanti kedatangan setan-setan terbaik yang pernah ada di dunia ini. Waktu terasa semakin cepat berlalu sementara tiga manusia yang Aku nanti-nanti belum jelas, bahkan belum kelihatan bokong dan dengkulnya. Carier hitam bercorak biru miliku telah siap, tepatnya di samping tiang pilar teras rumah yang dicat putih waktu lebaran satu bulan yang lalu. Pandanganku tertuju pada dua ekor capung yang tengah bermanuver lincah di atas kolam ikan yang di dalamnya terdapat lima ekor ikan koi, tiga ekor mas, dua nila, dua mujair dan juga bocah-bocah mas berukuran satu Centi Meter yang jumlahnya lebih dari sepuluh ekor. Pandangan pun Aku alihkan ke arah matahari terbenam, corak jingga benar-benar memenuhi nuansa langit sembari dihiasai awan-awan yang membentuk ombak bagai sunami raksasa di angkasa sana. Lansekap pemandangan terasa makin seperti lukisan tatkala dua ekor elang melebarkan sayapnya yang berkilauan terkena pantulan sinar jingga dari sang bola raksasa yang makin tenggelam. Aku tarik nafas panjang berusaha menyerap kekuatan dari indahnya alam pedesaan yang begitu tenang dan menghidupkan. Tangan pun sengaja Aku gerakan untuk merogoh saku yang di dalamnya bertengger satu batang rokok kretek. Sesaat kemudian kepulan asap mulai mengalir dari bibir kering dan memenuhi udara di sekitar, tarikan demi tarikan asap coba untuk kunikmati seiring manuver dua elang di atas langit yang kian menjauh. Aku iringi dua ekor elang perkasa itu dengan tatapan yang bermkna “ Aku ingin seperti kalian. Bebas bergerak dan bertualang” Baru saja kalimat itu mengalir dari dalam hati, Tiba-tiba suara dari kepalaku menyentak kekaguman pada Dua ekor elang yang telah menghilang.
“Kau tak perlu menjadi elang dengan sayap kokoh yang menjelajah langit. Apa lagi menjadi capung di atas kolam itu, Kau lebih hebat dari Semua yang kau anggap hebat di dunia ini. Yakinlah kawan,” Suara dari diri sendiri pun menghilang, sementara Aku hanya terpasung dalam diam dengan sedikit senyum tipis di bibir yang masih mengapit sebatang rokok.
Setelah selesai berkemas dan mengecek kembali bawaan yang nantinya kami gunakan, Aku sempatkan diri menikmati segelas kopi hitam yang agak kental sambil menikmati awan tipis yang membalut puncak tujuan kami. “Hmmmm.......... Tenanglah kau puncak, beberapa jam lagi Kau akan kembali Aku gagahi.” Si jadul kembali berdering dan pesan pun Aku buka. Ternyata dari Enda,
“Cuaca di situ gimana? Bagaimana kalau kita nyantai di pantai aja?”
“Cerah kok! Tapi terserah kalian aja” Balasan SMS aku kirim walau pun ada sedikit rasa dongkol di hati atas apa yang barusan disampaikan Enda, sementara di kepala timbul pertanyaan,
“Bukannya sudah ada kesepakatan”
07.30 ketiga orang yang dinanti-nanti belum juga muncul. Perut telah keroncangan bahkan telah dangdutan. (he he he he...) Belum sempat langkah kaki Aku tuntun menuju ruang makan dengan maksud mengisi perut, motor yang Aku kenali Milik si Enda telah berada di depan rumah dan disusul motor kepunyaan si Ulhaq. Tiga makhluk yang kunanti-nanti akhirnya tiba. Namun alangkah terkejutnya Aku ketika Si Ubi tak nampak iIndra penglihatan. Aku kembali menatap dengan seksama makhluk-makhluk aneh yang barusan tiba. Tiba-tiba Aku merasa berada di depan kelas dengan baju safari, berdiri di samping papan tulis sambil menggenggam Daftar Absensi Siswa.
"Ulhaq...,”
"Hadir Pak.”
“Hendra,”
“Hadir Pak.”
“Ubi,”
“Gak tahu Pak,” Jawab seonggok daging dengan perut buncit, Kulit hitam dan breok yang mirip kambing Pak mansur tetanggaku.
“Isto... ! Si ubi mana?” Lamunanku menjadi guru yang sedang mengabsensi para murid tiba-tiba hilang setelah pertanyaan tadi Aku tujukan buat Si gendut dengan nama Isto.
“Tadi turun di rumah Om-nya. Bentar lagi nyusul ke sini” Ucapnya seraya meletakan Back Pack dari Pundak. Kemudian Enda dan Ul juga melakukan hal yang sama.
“Eh... Kita Naik gunung apa nyantai di pantai?” Tanyaku sambil menatap si Ul yang telah bersandar di pilar teras sembari mengunci resleting Carier Avtech-nya
“Nggak tahu nih... Terserah ajalah.
“Yang serius dong”
“Pokoknya terserah mereka saja lah” Jawab Ulha
“Isto Kamu ikut kan?” tanyaku.
“ya iyalah.” Jawab Isto penuh keyakinan sembari menatap Ubi yang telah memasuki pekarangan rumah.

“Weits.... My man....!!!” Aku sapa ubi sambil berjabat tangan dengannya.
“Gi mana? Udah siap Jalan?” Tanyaku
“Ya iyalah.. ” Jawab Ubi penuh semangat.
“Broo...” Isto terdengar menyapa. Tapi kami sama sekali tak tahu siapa yang Ia sapa. Sementara di wajahnya tersirat kesedihan dan rasa pasrah yang mendalam.
“Kenapa man?” Suara dari Enda meluncur, sedangkan wajahnya kelihatan serius dan penasaran. “Sebenarnya A.. A..A... Aku...,” Jawab Isto terbata-bata.
“Kenapa?” Timpal Ubi, Isto lalu menghebuskan nafas, sepertinya Ia berusaha untuk tenang sebelum mengucapkan apa yang ingin kami dengar.
“kenapa?” Aku yang juga telah penasaran tak mau ketinggalan bertanya. Isto menatap kami satu persatu dan sejurus kemudian kalimat pun meluncur dari mulutnya yang dihiasi Jenggot kambing. Ia pun Akhirnya Bersuara “Jek.... Sebenarnya Aku ini Kuat mendaki. Pokoknya Aku kuat. Tapi...”
“Tapi kenapa...?” Tanya Ulhaq.
“Tapi Aku kuatnya cuman dikit doang soalnya kekuatanku udah disedot ini lemak” Seraya berkata demikian tangannya menggosok perut yang kelihatan seperti Ibu-ibu hamil. Dia pun meneruskan. “Aku takut nih bayi brojol di tengah perjalanan”
“kha.. kha... kha... Dasar Guoblok,” ucapku seiring suara tawa yang semakin keras. Ubi, Ulhaq Dan Enda juga melakukan hal yang sama, dengan Mulut yang Terlihat lebih besar terbuka dan suara Yang lebih nyaring. “eits....... Jangan ketawa dulu” Suara si Isto kembali terdengar keras, dan kedengaran sepertinya Dia marah. Setelah Kami tak lagi bersuara, Isto kembali berbicara. Namun kali ini dengan wajah Merah menahan Emosi.
“Oke lah kalau Aku Kuatnya cuman sedikit” Aku menatapnya dengan heran, Si Ul dan Enda juga kebingungan. Hanya Ubi saja yang tampak memasang wajah siap meledakan tawa. Lalu Isto kembali melanjutkan kata-katanya.
“Soal kuat okelah kalau Aku kuatnya Cuma dikit doang. Tapi kalau soal ketampanan! Aku pasti lebih banyak bahkan Meluap jek ” Suara tawa kembali memecah malam itu menyelingi persiapan pendakian kami.
“Isto... Kamu ikut yakin nggak ikut?” Tanya Ubi seraya merapikan bawaannya
“Tadi kan Aku sudah bilang. Kamu ini nanya-nanya melulu, akhirnya pusing jadinya nih." ia masih menyuguhkan kami senyum canda. Aku menatapnya, “Jadi positif nggak ikut?”
“Iya jek... Aku pasti mampus di tengah jalan kalau naik malam ini. Ini perut sudah makin buncit. Tapi kalau kalian ke pantai Aku pasti ikut,” senyuman tipis penuh harapan mengiring kalimat yang lebih pantas dibilang rayuan itu terukir di bibirnya yang hitam.
“Bim... Yakin nih malam ini kita naik?” Setelah berkata demikian Ulhaq merapikan bawaannya.
“Yakin” Jawabku pendek.
Sabtu malam minggu ditemani terangnya sinar bulan yang hampir sempurna bulatnya, Dua buah motor yang kami pakai akhirnya membelah keheningan malam. Aku, Ubi sama Enda. Sementara Isto menjadi joki dan ditumpangi Ulhaq. Motor melaju dengan kecepatan pas-pasan namun hal ini justru menambah semangatku untuk menikmati suasana perjalanan malam ini. Setelah tiba di desa yang kami tuju kami sengaja melapor ke kantor desa dan setelah mendapat izin motor kembali mencumbu jalanan aspal licin menuju sebuah dusun kecil yang merupakan jalur pendakian. Sebenarnya ada dua jalur menuju puncak, namun mengingat kami ingin jalan santai maka jalur paling mudahlah yang kami ambil. Kira-kira sekitar enam sebelas menit menempelkan pantat di jok motor kami pun akhirnya tiba di sebuah dusun Kecil yang letaknya berdekatan dengan pantai. Dan dari dusun ini jualah kami nantinya memulai pendakian. Ubi, Aku dan Ulhaq beristirahat sejenak sembari menunggu Enda dan Isto yang lagi nitip motor. Satu batang rokok aku sulut dan hal yang sama juga dilakukan Ubi. Samar Aku dengar gemuruh ombak dan nyanyian dedaunan yang tertiup angin. Perlahan asap terkepul dari mulut kami berdua, sementara Ulhaq tengah asyik mencumbu segelas air mineral yang tadi Aku ambil dari dalam lemari es sewaktu di rumah.
“Ul... SMS si hendra dong! Bilangin tuh anak jangan lupa beli kartu, biar sampai di atas kita gak bengong” Pinta si Ubi yang semakin bernafsu menyemburkan asap dari mulut.
Engge mas...” Ulhaq lalu mengeluarkan Handphone dan sejurus kemudian jemarinya membawakan tarian balet di atas keyboard namun sayangnya musik pengiring tarian bukanlah sebuah symphoni klasik melainkan hanya bunyi poly phonic. Rokok di jemariku hampir habis dan suara ombak masih aku nikmati seiring lalu lalang beberapa kendaraan. Orang-orang tampak memandang kami dengan wajah yang bisa kuartikan sebagai pertanyaan, “Ngapain sih nih orang-orang pada mau mendaki jam segini” Namun Aku hanya melemparkan senyum tatkala tatapan-tatapan aneh mereka menghujam pada Kami. Isto dan Enda tiba sebelum batangan rokok di jemariku habis.
“Isto... Benaran nih gak mau ikut?”
“Sory jek. Kayanya kali ini Aku nggak bisa Ikut” Isto menjawab pertanyaan Enda.
“Kamu hati-hati baliknya.Dan Jangan ngebut” Ucapku pada Isto sembari memberikannya senyuman.
“Ok jek... Eh kalian juga Hati-hati yah!”
“Yoi” Jawab Ulhaq dan Enda hampir bersamaan. Jabat tangan dan senyum dari Kami yang Mau membelah malam tersaji untuk Isto yang harus balik.
“Eh ingat.. Besok Jemput” Ulhaq mengingatkan
“Pokoknya tenang aja. Eh salam yah buat tuh puncak”
“Si....p” Seraya mengangkat jempol kalimat tersebut meluncur dari bibirku, Isto menghilang menembus malam. Penerangan dari kendaraan yang dikendalikannya pun tidak lagi nampak saat Tikungan menghalangi pandangan mata. Isto menghilang meninggalkan kami yang sebentar lagi harus menyeok langkah menembus batasan kekuatan diri sendiri. Dingin angin malam mulai menjamah tubuh kami berempat saat langkah-langkah kecil mulai membelah jalanan setapak yang berbatu-batu. Di kiri kanan ilalang dan rumput liar tampak melambai pelan tatkala dipaksa hembusan angin untuk bergoyang mengikuti irama alam. Satu-persatu rumah warga dusun yang berpenarangan seadanya kami lewati. Baru sekitar empat menit langkah terayun dan Kami melintasi sebuah dataran yang cukup luas dan hanya ditumbuhi ilalang. Datarannya agak luas dengan warna tanah yang merah kekuning-kuningan. Aku lalu teringat saat melintasi Oro-oro ombo menuju puncak semeru tahun lalu.
“Ulhaq.. Ini dataran mirip Oro-oro ombo ya..?”
“Hehehe.. Iya juga sih.” Ulhaq mengiyakan apa yang barusan kusampaikan. Sementara Ubi nampak penuh bersemangat, mungkin karena ini pendakian perdana baginya, bahkan dia orang yang paling berambisi untuk tetap naik malam ini. Hal ini Aku ketahui tatkala kami beristirahat sambil menunggu Isto dan Enda yang lagi nitip motor saat baru pertama tiba di dusun tadi. Ubi sempat bilang kalau seandainya Ulhaq ataupun Enda nggak jadi naik dia bakalan ngerayuku habis-habisan, bahkan siap menjadi pelampiasan jika aku butuh kehangatan (ha hahaha haha). Aku ingin muntah saat mendengar candaannya. Saat mendengar pengakuannya di bawah sana Aku sempat tersenyum namun memaklumi keinginannya untuk tetap naik malam ini. Langkah kaki telah mencumbu tanah yang agak becek dan lembab sekitar limah belas menit. Cahaya rembulan begitu menggodaku untuk menikmati perjalanan malam ini. Suara jangkrik dan serangga malam laksana alunan klasiknya bethoven yang mengantar ke empat manusia muda membelah alam tuhan dalam balutan dingin malam. Langkah-langkah semakin cepat berpacu sembari diiringi candaan kecil. Kodok-kodok berwarna batu tampak sedikit terusik tatkala kami harus mengganggu ketenangan yang mereka miliki. Tapi mau bagaimana lagi para kodok juga tak tahu diri, masa bercinta di jalan setapak yang harus kami lalui. “Sory yah dok” Ungkapan lucu terdengar dalam hatiku. Dingin yang awalnya merongrong tubuh kini mulai sedikit hilang. Mungkin karena tubuh terus bergerak dan jantung makin kencang berpacu mengimbangi gerakan kaki yang sedikit cepat bergerak dari biasanya. Aku berada paling depan dengan satu buah senter sedang diikuti Enda kemudian Ubi dan pada posisi belakang didiami Ulhaq. Kami sempat bercakap-cakap tentang indahnya rembulan malam ini yang menembus celah dedauanan dengan temaram sinar yang berusaha menyetubuhi tanah. Ubi nampak agak tenang dan jarang bersuara, tapi hal itu bisa dimaklumi karena setahuku dari beberapa kali pendakian biasanya orang yang baru pertama melakukan pendakian di suatu tempat yang baru akan lebih nampak diam dari biasanya. Mungkin menikmati perjalanan atau juga sedang mangagumi kebisuan malam dengan sejuta rahasianya.
“Opsss.... ” Suara itu terdengar dari belakang dan Aku pun menghentikan langkah kaki lalu memalingkan tubuh ke arah suara tersebut.
“Kenapa Bi?” Enda bertanya pada Ubi yang sedang dalam posisi setengah jongkok.
“Putus jek!” Seraya menatap alas kaki yang dikenakannya. Ulhaq memberikan penerangan dari senter yang digenggamnya. Aku juga melakukan hal yang sama.
“Gak apa-apa. Cuman tali pinggirnya yang lepas, Masih bisa digunakan kok,” ia bangkit dari posisi setengah jongkok kemudian mengambil ancang-ancang untuk kembali bergerak.
“Yakin nih?” Tanya Ulhaq Seraya mengencangkan carier.
“Yakin bos.” Ubi lalu memberi komando agar Aku bergerak.
“Sip...!” Dan kami kembali membelah malam menembus sejuta keindahan yang jarang disaksikan orang lain. Jalanan yang agak becek serta bercabang-cabang hampir saja membuat kami tersesat. untungnya Ulhaq masih menghafal jalur. Alhasil kami pun selamat dari jebakan alam yang kami buat sendiri karena kurangnya konsentrasi. Pekat malam tak mampu mengalahkan semangat sang rembulan yang menemani perjalanan kami kali ini. Pohon kelapa dan pala nampak asyik berbincang dengan angin malam dalam bahasa yang hanya mereka mengerti sendiri tapi setidaknya kami bisa kebagian sedikit ketenangan dari perbincangan itu. Pohon cengkih siap panen nampak kelihatan terkena biasan sinar bulan menghasilkan warna emas dengan campuran oranye. Harumnya tanah becek bercampur dengan aroma cengkih menyebarkan keharuman dan memenuhi ronggah hidung. Aku sempat bergumam dalam hati hal inikah yang mungkin membuat para penjajah mau menjamah dan mencabik tanah maluku ini. Tanah yang kaya akan segala potensi dari laut sampai ke gunung dari puncak sampai ke dasar samudera. Namun apa yang ada sekarang nampak tak begitu menarik sebab maluku kini tak jauh beda dengan pada jaman penjajahan. Yang nampak beda hanyalah gedung-gedung tinggi yang becokol dan bercampur dengan tingginya Ego manusia yang tak tahu lagi makna akan kebersamaan maupun tenggang rasa. Inikah bangsa yang dibanggakan para politikus dan pemerintah? Inikah maluku atau lebih luasnya inikah Indonesia. Indonesia yang mengagungkan kesetaraan dan keadialan. Keadilan macam apakah itu, Grafik dalam otaku tak menemui titik dari keadilan itu.
“Break.....” Teriakan kecil dari Ubi membuyarkan lamunanku tentang Negara goblok yang Aku diami ini.
“Gi mana bi?” Tanya Ulhaq yang telah menggantikan posisiku sebagai pembuka jalan. Ubi nampak berusaha menstabilkan pernapasan.
“Istirahat dikit yah”
“Di atas sana ada dataran kecil. Sampai di atas aja yah!” Pinta Ulhaq
“Okelah kalau begitu.” Ucapan ubi menggunakan dialog Tegal Menirukan sebuah lagu. Tawa lepas pun saling berebutan dengan napas kami yang hampir habis.
“Maju Ul,” Enda yang berada pada posisi kedua mengingatkan Ulhaq agar kembali melangkah. Dan tanpa pikir panjang, langkah kembali terukir di atas tanah serta dedaunan kering. Aku tak mampu mambaca perasaan apa yang ada di kepala Ubi. Tapi yang pastinya dia mungkin telah kelelahan setelah kami sama-sama menaklukan tanjakan-tanjakan yang benar menguras tenaga. Sepuluh menit telah berlangsung dan hampir tiga dataran kecil telah kami lewati namun belum juga ada istirahat seperti yang dijanjikan Ulhaq. Aku bisa memaklumi hal ini karena kami memang berpacu dengan waktu. Keringat makin bercucuran membuat sedikit basah baju lengan panjang yang kukenakan. Nafas semakin terasa sulit untuk dihirup karena beban di pundak dan kaki yang melangkah lebih lama dari biasanya.
“Nanti kita ngisi air dulu yah sekalian istirahat sejenak.”
“Ok broo” Ulhaq megiyakan perkataanku.
Setelah hampir satu jam berjalan menembus pekat, melewati pulahan tanjakan, puluhan ribu pohon pala dan cengkih, Tiga puluh tiga cerita konyol yang agak ngeres akhirnya kami tiba di dekat sebuah sungai kecil. Namun untuk menapakan kaki di situ, Kami harus melewati turunan yang cukup terjal, kalu tidak salah kemiringannya mencapai empat puluh lima sampai dengan lima puluh derat. Otomatis harus ekstra hati-hati karena jika sampai tergelincir maka bisa-bisa tidak akan ada kopi hangat atau pun sup di puncak, keduanya digantikan perban dan bau obat-obatan rumah sakit. Jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu orang secara bergantian akhirnya bisa kami lewati demi mendapatkan air untuk persediaan 2 hari kedepan. Untunglah bulan benar-benar bersahabat dengan Kami malam itu. Tikungan-tikungan kecil kami lewati dan suara gemericik air yang mencumbu bebatuan makin terdengar jelas di telinga. Tak sabar rasanya untuk membasahi kaki yang terasa berat ini.
Dinginnya air benar-benar ampuh ketika kulit pertama kali terbasuh. Satu persatu kami menurunkan beban dari pundak yang terasa makin berat.
“Nih ngemil dulu buat nambah tenaga,” Enda membagikan kepada kami masing-masing satu buah coklat kream batangan.
“Thanks broo...” Aku berikan kata terima kasih itu padanya ketika benda yang diberikannya aku terima. Begitu juga dengan Ubi dan Ulhaq yang langsung melahap dengan penuh nafsu. Sembari mengunyah Ulhaq mengeluarkan botol kosong guna memasukan air sedangkan Enda mojok di samping kali dan sesaat kemudian,
“Crooooot.....” Suara itu benar-benar dinikmati enda. Ubi hanya tersenyum simpul memandangi Enda yang lagi buang air kecil.
“Berapa tahun di Dinas Pemadam Pebakaran Pak? Lincah benar mainin selangnya,” ledek Ubi yang kemudian membuat tawa kami mengalahkan suara air sungai.
“Eh masih jauh lagi yah?” Sambil membersihkan kaki sebelah kanan yang blepotan terkena tanah becek Ubi bertanya pada Ulhaq tanpa memandang wajah orang yang ditanyainya.
“Akh... kau ini. Aku kan sudah bilang jangan tanya kapan sampainya, nikmati aja perjalanan ini.”
“Tul broo..” Enda menimpali Ucapan Ulhaq seraya menaikan celana.
“Aku sih cuman pengen tahu pastinya aja.” Ubi kembali membersihkan kaki kirinya yang tidak kalah blepotan. Dan seandainya diadakan lombah kaki yang mirip babi (maaf yah ubi, heheheh) Ubi yang akan memakai medalinya.
“Ya udah sekarang mending gak usah banyak nanya. Nikmati aja perjalan ini. Oke Man?” Jawabku diiringi gerakan tangan kiri yang berusaha meraih jerigen berkapasitas lima liter dari dalam carier. Setelah jerigen terisi penuh Aku kembali memasukannya ketempat semula. Irama air di sungai kecil itu akhirnya harus kami tinggalkan guna melanjutkan perjalanan. Saat carierku yang kini bertambah berat karena lima liter air itu aku sadingkan di pundak, Ubi, Ulhaq dan Enda telah mengambil Ancang-ancang untuk melanjutkan perjalanan.
“Ulhaq, kamu tetap di depan yah! Aku biar di belakang.”
“Ok man...” Jawab Ulhaq.
Kami mulai mendaki kembali, menyusuri bibir jurang dengan lintasan menyamping. Sebab jika kami harus mengambil jalur yang sama sewaktu turun tentunya membutuhkan tenaga ekstra dan juga tingkat bahaya yang besar.
“Bim gak berat tuh?” Ubi menanyakan hal tersebut sambil menatapku. Aku sendiri tak tahu apa maksud dari tatapannya itu.
“Lumayan Broo.” Namun belum sempat selesai jawaban dariku Ubi telah melangakah. Ulhaq, Enda, Kemudian berturut-turut Ubi dan Aku yang paling belakang. Sama-sama kami dipaksa oleh hati untuk kembali meneruskan perjalanan. Malam makin pekat sedangkan sinar bulan nampak emosi ketika awan tipis merayu dan berusaha menutupi sinarnya, dan alhasil Ulhaq harus menyalakan senter guna membantu penyinaran dari senter lumayan besar yang aku pegang. Ubi menyalakan Hp yang memiliki fungsi senter, sedangkan Enda tetap tanpa penyinaran. Tapi kami pikir Penglihatannya tetap aman walau pun matanya agak sipit dan kecil (piss man, hehehe….)
 “Tadi katanya si diki mau ikut ya! Kok nggak jadi?” Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa perduli siapa yang Aku tanyai.
“Katanya sih dia lagi sibuk. Tadi sih bilangnya begitu” Jawab mahluk yang berada di depanku.
“Emang sibuk apaan?”
“Gak tahu” Ubi lempeng.
“Padahal aku punya janji mau jalan sama itu anak buat naklukain puncak ini,”
Diki adalah salah satu sahabat kami yang punya hobi yang sama. Aku masih ingat betul saat perayaan tahun baru dua tahun silam, tepatnya tahun 2008. Aku, Ulhaq, Ical, Enda, Isto dan  Diki. Kami sama-sama mendaki dengan tujuan ke puncak sebelah. Dan untuk menempuh puncak sebelah terlebih dulu kami harus melewati puncak satu dan kemudian menempuh perjalan yang lumayan lama, kira-kira tiga sampai empat jam untuk sampai di puncak yang luasannya Cuma sekitar dua meter persegi itu. Namun saat itu terjadi sebuah kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian kami semua. Tim terpecah menjadi dua, tapi bukan karena adu argumen maupun terjadi salah faham. Namun kami nyasar di hutan hujan itu. Hasilnya hanya sebagian dari kami yang sampai di puncak sebelah. Alhasil hanya tiga orang dari kami yang bisa merayakan tahun baru di puncak sebelah. Namun saat itu kami sama sekali tak merasakan nuansa Pesta kembang api di pusat kota yang bisa disaksikan jelas dari puncak. Hal itu bukan saja karena gerimis dan kabut serta angin kencang namun karena kami tak bisa bersama-sama dengan kawan-kawan yang lain. Tapi yang tak habis pikir saat terpisahnya kami adalah saat dari puncak satu menuruni lembah kecil menuju puncak sebelah jarak antara rombongan pertama dan ke dua hanya terpaut sekitar sepuluh meter. setelah itu kami tak bersama. Tak seorang pun di antara kami yang tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Bahkan saat di lembah kami masih sempat berteriak berharap ada balasan suara dari kawan-kawan yang lain. Benar saja kami bertiga yang terpisah dari rombongan pertama sempat mendengar balasan suara dua kali yang kami kenali sebagai suara dari Si Ulhaq, padahal menurut ulhaq mereka sama sekali tak mendengar panggilan kami otomatis tidak pernah menyahuti panggilan itu hal ini kami ketahui ketika berkumpulnya kami di rumah keesokan harinya. Saat itu kami semua kebingungan dan sempat mengalami disorientasi. Aku pun terpaksa dan harus mengambil inisiatif. Jujur Sebenarnya Aku juga sudah tak bisa mengendalikan diri, Inisiatif pun Aku ambil agar kami bisa sama-sama tenang. Aku temui Diki dan Ical untuk meminta saran dari mereka.
“Bim-bim Aku percaya sama Kamu. Aku juga yakin teman-teman yang lain pasti sedang menuju puncak sebelah” Ucapan diki membesarkan hatiku.
“Ok. Sekarang Aku mau nanya. Kita Jalan terus apa harus kembali?” Tanya Ical.
“Kita tenangkan diri dulu sambil berusaha mencari tahu posisi mereka.” Sambil berkata demikian Tatapanku mendapati Diki yang sedang membuka kancing tas pinggang dan mencari sesuatu di sana.
“Kalian lihat Hanphone Aku nggak?” Kalimat tersebut diucapkannya dengan sedikit kepanikan yang nampak di raut wajah. Ical lalu membalas pertanyaan Diki,
“Koleksi bokep yang kemarin di HP-mu masih ada kan? Ini lembah dingin, mana kabut tebal lagi. Gi mana kalo si bobi kita buat panas dulu?
“Hahaha Goblooo..ooo..oook goblok.” Ledakan tawa kami terasa lebih dahsyat dari atom yang meluluh lantakan Jepang.
"Eh.. bukannya Tadi Handphone milik kita semua diamankan  Enda?!” Jawab ical dengan suara terbata-bata, masih menahan tawa.
“Terus bagaimana kita bisa tahu posisi mereka?” Diki agak menggerutu.
“Udah udah... Mending sekarang kita tenang dulu, ngerokok yuk,”sambungku.
“Bagai mana sekarang!! Kita menuju Sebelah atau kembali,” Diki menatapku dan sejurus kemudian tanyaku disela hembusan asap rokok kami bertiga.
“Bim... Aku percaya sama Kamu. Lagian Aku juga yakin Ulhaq dan yang lainnya pasti sedang menuju puncak sebelah”
“Okelah jika kita semua sepakat akan hal ini.” Aku lalu menurunkan carier dan kemudian mengeluarkan golok kecil. Aku pandangi ke dua kawanku itu.
“Kalian tetap di sini. Aku nyari jalur dulu. Siapa Tahu bisa nemuin jejak mereka. Pokoknya jangan kemana-mana.”
“Kalo ketemu cewek manis jangan di-embat sendiri yah!. Ingat, sisahin buat kita berdua,” canda Diki.
“Kalo gitu sementara kamu bebas make si ical, aku gak bakalan cemburu kok, hahahaha” balasku di sela tawa kami bertiga yang membuat lembah dingin berkabut itu serasa seperti bioskop yang sedang memutar film humor.
Aku lalu bergegas meninggalkan mereka menembus semak belukar yang berlumut tebal khas hutan hujan. Kabut membuat jarak pandang hanya sekitar sepuluh meter. Dan setelah kurang lebih sepuluh menit akhirnya aku berhasil menemukan jalur yang kami cari. Stream line dengan tebasan golok Aku buat agar ketika kembali dari menjemput Diki dan Ical kami tak lagi salah arah. Setelah yakin betul dengan jalur yang aku temukan langkah pun menyusuri sungai kecil guna menjemput ke dua rekanku, saat jarak hanya terpaut sekitar tujuh meter dari mereka, Si ical yang entah emosi atau melihat kaganjilan di lembah ini langsung mengeluarkan makian yang benar-benar keras. Aku bisa memaklumi itu karena si ical adalah tipe manusia yang sering menyaksikan mahluk selain manusia. Aku sendiri tidak ambil pusing dengan hal itu.
“Santailah Cal ucapku seraya berusaha menenangkannya” Mungkin karena tak mau berlama-lama di lembah yang terkenal akan mitosnya ini, aku pun menyarankan agar kita menuju jalur yang barusan Aku temukan. Setelah berada di jalur lintasan Serempak Kami memanggil nama kawan-kawan yang terpisah. Entah benar atau tidak kami bertiga mendengar panggilan mereka dari atas sebuah bukit kecil yang merupakan jalur menuju puncak sebelah. Langkah semakin cepat mengikuti suara mereka. Kami mendapati tebasan di pohon yang sepertinya barusan dibuat lima menit yang lalu dan hal itu benar-benar meyakinkan kami bahwa mereka telah duluan. Stream line semakin banyak kami temukan dan hal itu benar-benar menyemangati langkah kami yang sama sekali tak merasa lelah sedikit pun. Sekitar satu jam perjalanan kami tiba di sumber air yang berada di kemiringan tujuh puluh derajat. Aku dan Diki mengambil air sementara Ical standby menjaga perlengkapan. Di saat Kami berdua kembali menaiki kemiringan 70 derajat Aku kembali mendengar panggilan dari Ulhaq. Perjalanan kami pun berlanjut. Aku sengaja menghadirkan Obrolan dan candaan agar kami tetap rileks, dan ternyata hal itu berhasil, kami terus bercerita dan tertawa.
Kami kembali menemukan stream line di tanjakan terakhir menuju puncak dan hal itu membuat kami tak lagi menghiraukan rasa penat dan letih. Tanjakan terakhir telah terlewati dan puncak hanya di depan mata terhalang lebatnya tumbuhan setinggi lutut. Namun karena jalur masih tetap menanjak maka otomatis pandangan kami benar-benar terhalang. Saat tiba di puncak kata pertama yang ingin aku ucapkan adalah, “Kalian tiba dari tadi?” Namun kalimat itu tak pernah meluncur dari bibirku kala tak satu mahluk bernama manusia pun yang aku temui selain Ical dan Diki.
Malam itu tak ada yang begitu perduli dengan pesta kembang api di pusat kota yang bisa jelas kelihatan dari tanah tinggi ini. Kami semua larut dalam pemikiran masing-masing. Berfikir tentang keadaan ketiga kawan kami yang lainnya. Aku hanya bisa sesekali meyakinkan Diki dan Ical bahwa Ulhaq, Enda dan Isto pasti baik-baik saja. Malam itu kami lewati tanpa tidur lelap dan mimpi indah. Aku berusaha tetap tenang di dalam satu buah ponco yang sebenarnya hanya mampu menampung satu orang, namun begitulah apa yang kau miliki adalah milik bersama. Kami tidur, lebih tepatnya berusaha tertidur. Sebenarnya kami bisa saja mendirikan tenda praktis (dum) Namun kami hanya memiliki Tulangannya saja sebab yang lainnya di bawa oleh Enda. Pagi harinya di hari pertama tahun 2008 kami kembali berkemas dan makan seadanya. Pelengkapan kami siapkan dan kemudian tanpa pikir panjang kami memutuskan untuk kembali menyisir punggungan puncak sekalian pulang, demi memastikan keberadaan rekan-rekan yang lain. Setelah Hampir tiga jam berjalan dengan langkah cepat dan tanpa istirahat sedikit pun, kami akhirnya tiba di lembah yang membuat kami terpisah. Dari bawah lembah melalui sela-sela pepohonan Kami bisa menyaksikan para pendaki yang lainnya di puncak yang lain. Perasaan agak tenang ketika melihat banyaknya para pendaki atas puncak sana. Dalam hati Aku berharap semoga saja rekan kami juga ada di sana. Setalah kaki menapak di puncak Kami melemparkan pandangan ke arah pendaki yang lainnya berharap menemukan sosok-sosok yang kami cari.
“Eh bro... Lihat rekan kami yang kemarin sama-sama turun ke lembah nggak?” Tanya Diki kepada salah seorang pendaki yang kemarin kami temui di puncak ini.
“Nggak Broo. Kemarin kalian sama-sama ke puncak sebelah kan?” Setelah mendapatkan jawaban demikian Diki lalu menghampiriku Tanpa perdui dengan pendaki yang balik bertanya padanya.
“Bim... Kita kayaknya harus turun sekarang. Mereka juga nggak ketemu Isto dan yang lainnya” Ucap diki kemudian disambung oleh Ical.
“Mereka juga nggak ngelihat Bim” Ical mengatakan hal itu sembari menunjuk tiga orang pendaki yang tengah bersiap untuk turun.
“Kalau begitu kita langsung turun sekarang.” Tanpa pikir panjang carier kembali menancap di pundak dan sebelum Turun kami sempat bersalaman dengan para pendaki yang lainnya. Perjalanan turun kami tempuh hanya dalam satu jam, ketika tiba di sebuah sungai besar yang dipungsikan sebagai Pos peristirahatan sebelum menempuh perjalanan yang melelahkan ke puncak kami sempat melakukan komunikasi dengan rekan-rekan yang lain melalui Handphone yang Kami pinjam dari para pendaki yang kami temui di sebuah Pos peristirahatan. Hasilnya benar-benar memuaskan. Ternyata mereka telah tiba di rumah pada hari di mana Kami Terpisah. Rasa haru dan gembira menyelimuti perasaan Kami bertiga.
“Bim... bim..... bim-bim...!!! ” Tiba-tiba otakku yang memutar memori 2 tahun silam Menjadi kabur lalu Perlahan-lahan mataku disilaukan cahaya senter milik Ubi yang Akhirnya menyadarkan Aku dari Lamunan. “Kok dari tadi diam melulu,"
”Lagi nikmati Kelelahan ini broo..” Ucapku seraya mengisi paru-paru dengan udara.
“Wuihhh.... Aku cape man!” Sambung Ubi
”Istirahat aja kalau dipaksain nanti malah droop.” timpal Enda
“Ulhaq.. break” Namun Sebelum dua kata itu selesai kuucapkan Ubi telah bersandar pada pohon. Entah pohon apa itu, tapi yang pasti aku yakin dia menikmati sandaran itu seperti sofa empuk di ruang tamu rumahnya.
“Istirahat dulu man... Aku cape nih..!” Keluh Ubi seraya mengarahkan cahaya senter ke arah Ulhaq.
“Minta Air dong.”
“Nih..” Ulhaq lalu membuka kancing carier dan mengeluarkan botol berisi air dan menyerahkannya. Aku tak mau ketinggalan, setelah menenggak air, satu bungkus rokok kretek aku keluarkan dari tas pinggang dan mulai menambah kabut yang tebal dari bawah lembah dengan asap yang mengapul dari mulutku. Kami ramai-ramai berlomba mengepulkan asap berusaha menahan hawa dingin yang makin menusuk. Setelah itu masing-masing dari kami mulai mengalir dalam sungai pikirannya. Aku tak tahu apa yang ada di benak kambing hutan yang lainnya. Yang pasti aku menikmati perjalan ini.

Hamparan langit maha sempurna
Bertakhta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar
Perlahan turun menyapa akuAda tutur kata terucap
ada damai yang urasakan
Bila sinarnya sentuh wajahku. Kepedihan pu u u….n Terhapuskan……………..

Kami pun mengikuti dengan tenang, berusaha untuk meresapi makna dari arti lirik Padi yang mengalun dari Hp milik Enda, seraya perlahan bernyanyi bersama kabut, dan tiupan kencang angin - disaat manusia yang lainnya tengah menikmati hangat selimut serta kasur yang empuk. No woman no cry (bob marley), di sahidan (Shagy Doog), apa kabar kawan (Stevan and The Coconut Treaz), Padi lagi, Bob Marley lagi. Begitu seterusnya.
“Huuufh…..damai yah…!” Ucap ubi di sela lirik-lirik lagu dari Bob Marley tengah mengalun. Seraya menghembuskan nafas dan memejamkan mata, ia membiarkan wajahnya ditampar angin dingin dari lembah.
“Yo man. Damai.” jawabku seraya menarik nafas panjang, berusaha menelan semua ketenangan yang tersaji. enda menekuk lututnya merapat ke dagu, di tangan kanannya terjepit rokok yang mulai habis.
“Ketenangan ini terlalu indah,” mulutnya menyemburkan asap.
“Damai kawan, tenang.” Timpal Ulhaq. Kami lalu larut dalam ketenangan yang menghanyutkan, meluluh lantakan semua masalah serta persoalan yang ada dalam jiwa, setidaknya untuk sementara waktu kami tak ingin ketenangan ini sirna. Beberapa tegukan air, Lima belas menit menit, beberapa batang rokok, beberapa lagu dan sujuta ketenangan harus kami tinggalkan guna menempuh sisa perjalanan menuju puncak.
Langkah kaki semakin semangat menapaki bumi meninggalkan aroma becek tanah, setengah jam melangkah dari tempat istirahat jalanan menjadi semakin menanjak tanpa becek tanah. Kaki kini telah menginjak lumut di sepanjang jalur menuju puncak, pepohonan sudah tak lagi setinggi pala dan cengkih yang kami lewati saat baru mendaki tadi, dahan,dahan yang menghalangi jalan semakin menantang ditambah jarak pandang yang kian terbatas, bukan saja lantaran pekat malam yang tak lagi ditemani rembulan tetapi karena kabut yang semakin bernafsu bertiup dari lembah. Langkah serta nafas saling memburu, beban di pundak sudah tak lagi terasa karena digantikan semangat yang kian memacu, bunyi nafas yang tersengal deri hidung kami berempat akhirnya menghasilkan candaan. Ubi pun lalu memulai banyolannya,
“Lama-lama kita makin mirip sapi yah. Bunyi nafas udah mantap kayak sapi yang ngos-ngosan, tinggal ekor sama tanduk doang nih!”
“Kita? Kamu aja kali.” Balas Ulhaq.
“Benar, seratus untuk Ulhaq,” timpal Enda diiringi ledakan tawa kami ber-empat.
“Nah, sebentar lagi kan hari raya qurban nih, jadi sebagai umat yang taat beragama, baik hati dan tidak sombong, maka dengan ini saya menyerahkan satu ekor sapi jantan yang kadang jadi sapi Gay untuk disembelih,” sambil memasang wajah ramah dan manis se manis-manisnya kalimat itu kuucapkan, namun wajah manisku tak bertahan lama sebab tawa kembali menggelegar memecahkan malam yang berkabut.
“Hahahahaha… anjreeeeeettttt,” balas Ubi
 “Break sebentar yuk.” Ucapku, diangguki Enda. Tanpa menunggu lama masing-masing dari kami merebahkan tubuh sambil mencari sandaran yang nyaman. Tak perduli pohon yang kami gunakan sebagai sandaran tersebut kecil atau lapuk yang pasti kami menikmati waktu istirahat yang ada. Kira-kira lima menit berselang carier pun kembali bersarang di pundak masing-masing dan perjalan kembali berlanjut. Langkah-langkah pelan kini tak lagi ada,  digantikan langkah cepat dengan tenaga dan nafas yang tersisa. Di depan mata yang tersaji hanyalah ranting-ranting kering bercampur belukar setinggi lutut serta pohon-pohon yang semuanya terlihat berwarna hitam. Rata-rata tanjakan kini empat puluh lima derajat bahkan lebih dan hal ini otomatis membuat tenaga benar-benar terkuras. Pandangan aku alihkan ke langit yang dihalangi ranting pohon, bias cahaya dari rembulan tembus melewati dedaunan menyajikan jarum-jarum cahaya putih seperti menghujam bumi dengan sinar peraknya. Suara angin dari lembah curam di kanan dan kiri jalur lintasan terdengar merdu, menusuk sampai di dinding hati melebihi sayap-sayap patah karya khalil gibran. Pada tikungan kecil curam yang hanya bisa dilalui satu orang secara bergantian tersaji sebuah pohon tumbang yang berdiameter sedang. Aku dan ulhaq sengaja berhenti bukan karena kelelahan atau pun ingin mengatur nafas. Dan sesaat kemudian Ulhaq pun membuka suara di antara nafasnya yang belum beraturan.
“Ubi!”
“Yo man
“Ayo cepat sini,” balas Ulhaq. Aku pun memberi jalan untuk ubi. Si jangkung yang bernama ubi pun lalu melewatiku dengan klakson yang tak beraturan dari hidung, alias nafas yang benar-benar mirip sapi yang telah berlari puluhan kilo meter.
“Kamu di depan yah!” Pinta Ulhaq.
“Memangnya kamu kenapa?”
“Nggak. Sudah jangan banyak omong,” Enda menimpali.
“Okhelah khalou bheghitu” jawab ubi dengan suara yang di buat keluar dari kerongkongan. Dan kami hanya senyum mendengar lantunan tersebut. Ubi yang bertubuh jangkung tak perlu waktu lama untuk melewati pohon tumbang di depannya, kemudian disusul Ulhaq dengan langkah yang sama entengnya. Sementara aku dan enda yang berpostur kecil terpaksa bersusah payah. Aku sendiri tak mau ambil pusing dengan gaya dan posisi apa yang aku gunakan saat melintasi kayu tumbang tersebut, toh ini bukan lomba lari halang rintang atau pun lompat tinggi yang akan di-deskualifikasi apa bila salah mengatur gerakan. Dengan kaki yang telah berjam-jam melangkah hal terasa sedikit sulit dari biasanya, namun apa daya tak ada jalan lain selain melintasi raksasa tidur berkulit kasar yang seenaknya rebahan di atas tanah tanpa memikirkan perasaan kami. Perlahan kaki kiri aku naikan, berusaha agar bisa menunggang kayu, disusul kaki kanan, namun sial tak dapat dihindari. Aku tersungkur di atas raksasa tidur tersebut bukan karena tak mampu melangkah, namun dikarenakan si brengsek Ubi yang berteriak dan mengeluarkan suara yang sumpah benar-benar keras.
Anjreeeeeee…………t . Wuih….. perfect.. Beautiful man….................” Aku yang kaget atas teriakannya tersebut hanya tersenyum. Setelah melewati si pohon tumbang brengsek.
“Perfect ya.” Enda  mendekati Ulhaq dan Ubi. Aku pun tak mau diam segera kususul kawanan sapi liar yang telah berada di tanah datar - samping triangulasi. Asap kelihatan mengepul dari bibir kami ber empat. Tak ada suara lagi setelah masing masing orang sibuk dengan keindahan yang tersaji. Lampu-lampu kota laksana titik-titik noda kecil. suara angin lembah yang seakan mengucapkan selamat datang untuk kesekian kalinya terdengar semakin dramatis. Di kanan dan kiri hamparan padang garam cair dengan beground garis pulau yang menghitam karena pekat malam. Perahu-perahu kecil dengan penerangan yang hampir tak dapat ditangkap mata - seperti tak bergerak di air asin raksasa. Refleksi cahaya bulan terpampang di riak air laut menyajikan lansekap keindahan yang tak bisa dibeli. Kami hanyut dalam kedamaian masing-masing mencoba merenungi tentang jalan hidup yang kami pilih. Mendekat kepada alam dengan segala konsokwensi tentang keindahan dan misteri yang ada.

Kabut semakin tebal namun cahaya bulan tetap setia menghujami kami dengan siraman cahaya. Sementara rasi-rasi bintang seperti menyatu . Di mataku huruf bentukan rasi bintang kukenali, dan aku tahu apa yang terukir di langit yang ada dalam imajinasiku. Kupejamkan mata sejenak dan membiarkan wajahku diterpa kabut dan dingin tanah tinggi ini. Hembusan pelan asap rokok disirnakan angin yang berhembus kencang. Saat kelopak mata kembali terbuka aku masih menyaksikan rasi bintang yang saling menyatu membentuk kata itu. Dan senyum pun terukir di bibir saat membaca rangkaian kalimat yang hanya bisa kulihat sendiri, hanya bisa dilihat dengan hati.
**************Selesai***************

2 komentar:

Ary Toteles mengatakan...

asek asek..

Muakrim M Noerz Soulisa mengatakan...

#Mara Hitu :
hehehe... Thanks brada dah berkunjung
:)