Senin, 09 April 2012

Ejaan Mata Hati
Photo : Lukisan G.Soulisa (dok. noerz-muakrim.blogspot.com)
Langit merah ranum saat gadis mudah yang sama sekali tak manis itu kutemui lagi di sisi trotoar jalan ; beberapa meter dekat perpustakaan kota ini.
“Hai..” kata itu diucapkannya, kata-kata yang masih sama setiap kali ia kulewati. Awalnya aku tak pernah, bahkan terkesan ogah untuk sekedar bercakap-cakap apalagi sampai berhenti dan duduk disampingnya. Namun setiap kali aku berkunjung ke perpustakaan kota - ia selalu menyapa, akhirnya aku pun jadi malu jika hanya membalas sapaannya. Tak tahu kapan persis aku dengan sedikit terpaksa akhirnya mampir sejenak guna mendengar guyonan dan senyum manisnya yang bagiku sangat tidak enak dipandang. Hal itu lantaran setiap kali ia tersenyum sok ramah, setiap kali itu juga aku terpaksa harus menatap giginya yang berwarna kuning dan berkerak. Tapi walau pun begitu ia ternyata ramah jika aku memaksa untuk menganggapnya sebagai seorang yang ramah. Lambat laun aku pun jadi enggan jika tidak melihatnya barang seminggu. Ada rasa aneh yang kualami. Namun itu bukan lantaran wajahnya yang unik itu. Namun lebih karena wangi tubuhnya yang selalu menggodaku. Yah… aku telah dibuat mabuk kepayang dengan harum tubuhnya itu. Yah..! aku sering merindukan bau tubuh itu.
“Hai,” balasku sembari langsung menghampiri. Dalam hati aku benar-benar senang bisa berjumpa lagi dengannya. Itu lantaran hampir sebulan aku tidak menyempatkan diri ke perpustakaan kota ini buat sekedar membaca maupun mencuri buku yang aku anggap pantas untuk dicuri.
“Lama baru kelihatan,” ia membuka percakapan.
“Ia nih,” senyumku seraya berusaha mengimbangi wajahnya yang agak cemberut.
“Kemana saja?”
“Nggak kemana-mana kok!. Nih..,” lanjutku seraya menyodorkan batangan rokok kretek yang langsung disambarnya.
“Baju aku bagus kan?” wajahnya yang cemberut tiba-tiba hilang. Ia berdiri dan berpose lalu memutar sembari memegang ujung dari daster ungu selutut itu. Saat berputar dengan gaya cinderela - ia sama sekali tidak seperti putri dengan sepatu kaca itu, terlebih saat berputar sepasang bibirnya yang bergincu tebal masih mengapit batangan rokok.
Ingin sekali aku bilang busananya tidak enak dipandang sebab warnanya terkesan menor. Apalagi dengan dandanannya yang makin hari semakin tambah menor. Aku lebih senang jika ia memakai baju yang kubelikan padanya di pasar loak, tepat beberapa hari setelah ia dilempari seorang pemuda lantaran sang  pemuda merasa digoda.
Kusemburkan asap tebal dari mulutku, “Baju yang aku belikan kok tidak dipakai?”
“Aku nggak doyan sama baju loak-an.” Ia tersenyum. Dan senyumnya itu… akhhh. Aku tak suka melihat ia tersenyum. Alasannya yah masih sama, warna giginya itu.
“Mau ke perpustakaan lagi?”
“Ia.”
“Hahahaha…. Percuma. Percuma kalian semua banyak baca, jika tak bisa me-nge-jah hati.” Ia menyemburkan asap dengan nafas berat, kemudian dilanjutkannya,
“Buat apa baca-baca. Gak ada guna.” Aku hanya tersenyum.
“Yah dari pada gak ngapa-ngapain,” aku lempeng
“Percuma.” Asap kembali dihembuskannya.
“Sudah yah.. aku masuk dulu,” sembari melangkah di trotoar.
“Woe… ntar dulu.” Dengan agak kesal aku berbalik.
“Aku mau ngasih sesuatu sama kamu.” ucapnya. Aku langsung kembali mendekat.
“Apa..?” senyumku senang. Sangat senang malahan.
“Nih..” Ia mengangkat dasternya tinggi-tingi, sampai ke dada.
“Turunkan.” Teriaku.
“Inih buat kamu.” Ia malah senyum seraya mendekat.
“Turunkan.” Wajahku mengental lantaran emosi.
“Ini kan enak. Semua orang juga mau ini.” Ia semakin merapat, aku mengambil jarak.
“Ayo sini.” Wajahnya kelihatan makin nekat. Sedang tawanya itu.. yah tawanya semakin membuatku ciut. rasa ciutku bertambah jadi jijik lantaran kembali mata ini harus memandang deretan kuning giginya.
“Anjing.. turunkan anjing…” Aku gelagapan.
“Anjing-anjing semuanya kan suka ini” ia berlari ke arahku.
“Heeei… Anjing-anjing banyak yang suka ini.” Ia kembali berteriak.
“Lubang Pu*i (Makian khas Ambon). Ayo turunkan.” Namun belum selesai maki serta teriakanku itu ‘ayo turunkan’ aku telah berlari tunggang-langgang meninggalkannya. Bukannya marah setelah  mendengar makian kasarku tadi, ia malah terus mengejarku di trotoar jalan. Ku-engkol kaki semakin cepat untuk berlari, beberapa pedagang asongan bahkan sampai berciuman badan denganku. Saat melewati depan gerbang perpustakaan aku menengok. Sukurlah ia sudah tak lagi berlari mengejarku. Namun ia juga tidak berhenti, melainkan berdiri menghadap depan kantor pemadam kebakaran yang bersebelahan dengan perpustakaan sembari masih melakukan hal yang sama yang membuatku maki-maki tadi. kali ini ia bahkan menari sembari melakukan gerakan-gerakan yang membuat semua orang yang melihatnya tertawa hingga terpingkal-pingkal. Mereka juga tertawa sembari mengarahkan telunjuk ke arahku. Yah, tepatnya mereka menertawakan kami berdua.
Tawa mereka semakin besar ketika melihat wajahku yang kebingungan. Sebenarnya aku tidak kebingungan tetapi marah. Dan kemarahan itu semakin memuncak ketika tawa mereka semakin lebar, bahkan aku merasa bahwa mereka sedang membuka kupingku dan menumpahkan ribuan gallon tawa kedalam alat pendengaranku ini. Aku semakin marah bahkan bertambah marah lantaran tidak seorang pun yang melarang itu gadis agar berhenti berlakon seperti tadi.
Ruang perpustakaan kota yang full Ac sama sekali tak menyejukanku. Beberapa judul buku yang telah kupilih bahkan kuacuhkan di atas meja. Pikiranku masih saja berfikir tentang gadis berdaster ungu yang tidak terlalu lama kukenal itu. tanpa sadar air mata mengalir, dan ternyata hal itu diperhatikan oleh beberapa gadis yang bersebelahan meja. Mereka rupanya baru saja masuk ke dalam perpus ini, dan sialnya gadis-gadis itu tadinya sempat menertawakanku juga tatkala dikejar gadis berdaster ungu. Aku sebenarnya tak ingin marah saat tahu bahwa mereka menertawakan airmataku, namun tawa dan suara mereka itu benar-benar menyiksa. Merasa terusik aku mencari meja yang lain. Pikirku aku tidak lagi akan terganggu jika berada bersebelahan meja dengan pegawai perpustakaan yang biasanya mencatat data-data peminjam buku. Tapi baru saja pantatku menyentuh kursi yang bersebelahan dengannya tiba-tiba semua orang di dalam perpustakaan menertawakanku. Perempuan, laki-laki, yang tua, yang muda. Mereka semua menertawakanku. Yang lebih brengsek adalah petugas perpustakaan itu sendiri. Ia bahkan mengarahkan jari tepat di depan hidungku..
“Hahahahaha… hahahaha… hahaha… hahahahah..”
“Hahahahah…. Hahahaha… hahaha… hahahahah…” Semua orang mengerubuniku sembari tertawa dan membidiku dengan telunjuk.
“Hahahahaha…. Hahahahaha…. Hahahahaha….”
“Hahahahaha…. Hahahahaha…. Hahahahaha….” Tawa mereka menggema dalam kupingku ketika aku berlari keluar meninggalkan perpustakaan. Saat berlari aku berjanji untuk tidak lagi kembali ke perpustakaan itu. Aku tidak mau lagi ditertawakan.
“Itu dia..” teriak seorang satpam “Hahahaha… itu dia… hahahahaha”
“Itu dia kan? Tanya Polisi pada satpam”
“Iya itu orangnya. Hahahaha…… hahahaha…..” Keduanya tertawa. Semua orang tertawa. Dan telunjuk mereka itu, masih terus mengarah padaku.
Aku berlalu sembari menunduk. Melihat ketidak berdayaanku semua orang malah semakin tertawa. Pedagang asongan, pendeta, pemilik toko, pegawai negeri, satpam, pemadam kebakaran, polisi, kiai, pelajar, mahasiswa, tentara, aktifis, sarjana. Dari pengangguran alias tak berpangkat sampai pada mereka yang berpangkat-pangkat kuadrat, semuanya tertawa.
Disaat aku merasa bahwa dunia telah menertawakanku, aku mendengar suara tangisan yang lirih. Suara tangisan yang memikul beban berat. Suaranya pelan dan syahdu. Saat suara tangisan itu semakin mendekat aku merasa pohon-pohon mati. Angin tak berhembus, udara beku. Namun ketika kupalingkan pandangan pada kelompok orang-orang yang tertawa hal itu justeru berubah. kesibukan kota, lalu-lalang kendaraan serta semua ego dan kegilaan lah yang nampak.
Kembali kupusatkan pendengaran pada tangis itu. Poho-pohon kembali mati, udara berhenti, langit yang awalnya merah ranum menjadi gelap. Aku seperti merasa berada di dimensi lain dunia ini. Aku tak lagi perduli dengan dimensi hiruk-pikuk dan semakin menikmati suara tangis itu.
Gincu dibibirnya telah memudar, rambutnya acak-acakan, daster berwarna ungu yang tadi di angkat sampai ke dada sembari mengejarku sudah tak lagi ada. tubuhnya yang memang tak menggunakan pakaian dalam sewaktu mengejarku kini benar-benar telah bugil. Ia terlentang ditengah aspal panas yang membakar nasibnya sembari menikmati tangisannya sendirian. Giginya yang kuning sama sekali tak kulihat lantaran tangis ia dengarkan telah membutakan mata, telah membutakan hatiku.
Aku tidak ingin lagi mendekatinya, melainkan terus berlalu. Airmata yang tadi sempat kuumbar di perpustakaan yang merupakan sarang dari segala ilmu juga telah kusembunyikan. Yah! kusembunyikan lantaran aku merasa kalah dengan airmata si gadis berdaster ungu yang tak lagi berdaster. Dan saat tengah berlalu seorang anak kumuh dekil dengan baju sobek mendekatiku.
Ia berucap dengan pilu,
“Kakaku itu gila. Dulu diperkosa. Maaf kan kakak saya," ia terhenti, sedikit malu-malu dilanjutkannya,
"Menawarkan kemaluannya pada Om.”

Aku berlalu meninggalkan gadis gila yang sering kurindukan bau busuk tubuhnya yang menusuk hidung. Aku meninggalkan bau tubuhnya sembari berjanji dalam hati aku tidak akan membaca lagi jika belum bisa mengejah apa yang dikatakan wanita itu,
'Mengejah Mata Hati'



Kamar, 09 April 2012
eL_g. Noerz 
(Didedikasikan untuk para wanita korban kekerasan seksual)

Tidak ada komentar: