Photo : Lukisan G.Soulisa (dok. noerz-muakrim.blogspot.com) |
Langit merah
ranum saat gadis mudah yang sama sekali tak manis itu kutemui lagi di sisi trotoar
jalan ; beberapa meter dekat perpustakaan kota ini.
“Hai..” kata
itu diucapkannya, kata-kata yang masih sama setiap kali ia kulewati. Awalnya aku
tak pernah, bahkan terkesan ogah untuk sekedar bercakap-cakap apalagi sampai
berhenti dan duduk disampingnya. Namun setiap kali aku berkunjung ke perpustakaan
kota - ia selalu menyapa, akhirnya aku pun jadi malu jika hanya membalas
sapaannya. Tak tahu kapan persis aku dengan sedikit terpaksa akhirnya mampir
sejenak guna mendengar guyonan dan senyum manisnya yang bagiku sangat tidak
enak dipandang. Hal itu lantaran setiap kali ia tersenyum sok ramah, setiap kali
itu juga aku terpaksa harus menatap giginya yang berwarna kuning dan berkerak. Tapi
walau pun begitu ia ternyata ramah jika aku memaksa untuk menganggapnya
sebagai seorang yang ramah. Lambat laun aku pun jadi enggan jika tidak
melihatnya barang seminggu. Ada rasa aneh yang kualami. Namun itu bukan lantaran
wajahnya yang unik itu. Namun lebih karena wangi tubuhnya yang selalu
menggodaku. Yah… aku telah dibuat mabuk kepayang dengan harum tubuhnya itu.
Yah..! aku sering merindukan bau tubuh itu.
“Hai,”
balasku sembari langsung menghampiri. Dalam hati aku benar-benar senang bisa
berjumpa lagi dengannya. Itu lantaran hampir sebulan aku tidak menyempatkan
diri ke perpustakaan kota ini buat sekedar membaca maupun mencuri buku yang aku
anggap pantas untuk dicuri.
“Lama baru
kelihatan,” ia membuka percakapan.
“Ia nih,”
senyumku seraya berusaha mengimbangi wajahnya yang agak cemberut.
“Kemana
saja?”
“Nggak
kemana-mana kok!. Nih..,” lanjutku seraya menyodorkan batangan rokok kretek
yang langsung disambarnya.
“Baju aku
bagus kan?” wajahnya yang cemberut tiba-tiba hilang. Ia berdiri dan berpose
lalu memutar sembari memegang ujung dari daster ungu selutut itu. Saat berputar
dengan gaya cinderela - ia sama sekali tidak seperti putri dengan sepatu kaca
itu, terlebih saat berputar sepasang bibirnya yang bergincu tebal masih mengapit
batangan rokok.
Ingin sekali
aku bilang busananya tidak enak dipandang sebab warnanya terkesan menor. Apalagi
dengan dandanannya yang makin hari semakin tambah menor. Aku lebih senang jika ia
memakai baju yang kubelikan padanya di pasar loak, tepat beberapa hari setelah
ia dilempari seorang pemuda lantaran sang pemuda merasa digoda.
Kusemburkan asap
tebal dari mulutku, “Baju yang aku belikan kok tidak dipakai?”
“Aku nggak
doyan sama baju loak-an.” Ia tersenyum. Dan senyumnya itu… akhhh. Aku tak suka
melihat ia tersenyum. Alasannya yah masih sama, warna giginya itu.
“Mau ke
perpustakaan lagi?”
“Ia.”
“Hahahaha…. Percuma.
Percuma kalian semua banyak baca, jika tak bisa me-nge-jah hati.” Ia
menyemburkan asap dengan nafas berat, kemudian dilanjutkannya,
“Buat apa
baca-baca. Gak ada guna.” Aku hanya tersenyum.
“Yah dari
pada gak ngapa-ngapain,” aku lempeng
“Percuma.” Asap
kembali dihembuskannya.
“Sudah yah..
aku masuk dulu,” sembari melangkah di trotoar.
“Woe… ntar
dulu.” Dengan agak kesal aku berbalik.
“Aku mau
ngasih sesuatu sama kamu.” ucapnya. Aku langsung kembali mendekat.
“Apa..?”
senyumku senang. Sangat senang malahan.
“Nih..” Ia
mengangkat dasternya tinggi-tingi, sampai ke dada.
“Turunkan.” Teriaku.
“Inih buat
kamu.” Ia malah senyum seraya mendekat.
“Turunkan.” Wajahku
mengental lantaran emosi.
“Ini kan
enak. Semua orang juga mau ini.” Ia semakin merapat, aku mengambil jarak.
“Ayo sini.”
Wajahnya kelihatan makin nekat. Sedang tawanya itu.. yah tawanya semakin
membuatku ciut. rasa ciutku bertambah jadi jijik lantaran kembali mata ini harus memandang deretan kuning giginya.
“Anjing..
turunkan anjing…” Aku gelagapan.
“Anjing-anjing
semuanya kan suka ini” ia berlari ke arahku.
“Heeei…
Anjing-anjing banyak yang suka ini.” Ia kembali berteriak.
“Lubang Pu*i
(Makian khas Ambon). Ayo turunkan.” Namun
belum selesai maki serta teriakanku itu ‘ayo
turunkan’ aku telah berlari tunggang-langgang meninggalkannya. Bukannya marah
setelah mendengar makian kasarku tadi, ia
malah terus mengejarku di trotoar jalan. Ku-engkol kaki semakin cepat untuk
berlari, beberapa pedagang asongan bahkan sampai berciuman badan denganku. Saat
melewati depan gerbang perpustakaan aku menengok. Sukurlah ia sudah tak lagi berlari
mengejarku. Namun ia juga tidak berhenti, melainkan berdiri menghadap depan
kantor pemadam kebakaran yang bersebelahan dengan perpustakaan sembari masih
melakukan hal yang sama yang membuatku maki-maki tadi. kali ini ia bahkan
menari sembari melakukan gerakan-gerakan yang membuat semua orang yang
melihatnya tertawa hingga terpingkal-pingkal. Mereka juga tertawa sembari mengarahkan
telunjuk ke arahku. Yah, tepatnya mereka menertawakan kami berdua.
Tawa mereka
semakin besar ketika melihat wajahku yang kebingungan. Sebenarnya aku tidak
kebingungan tetapi marah. Dan kemarahan itu semakin memuncak ketika tawa mereka
semakin lebar, bahkan aku merasa bahwa mereka sedang membuka kupingku dan
menumpahkan ribuan gallon tawa kedalam alat pendengaranku ini. Aku semakin
marah bahkan bertambah marah lantaran tidak seorang pun yang melarang itu gadis
agar berhenti berlakon seperti tadi.
Ruang
perpustakaan kota yang full Ac sama sekali tak menyejukanku. Beberapa judul
buku yang telah kupilih bahkan kuacuhkan di atas meja. Pikiranku masih saja
berfikir tentang gadis berdaster ungu yang tidak terlalu lama kukenal itu.
tanpa sadar air mata mengalir, dan ternyata hal itu diperhatikan oleh beberapa
gadis yang bersebelahan meja. Mereka rupanya baru saja masuk ke dalam perpus
ini, dan sialnya gadis-gadis itu tadinya sempat menertawakanku juga tatkala
dikejar gadis berdaster ungu. Aku sebenarnya tak ingin marah saat tahu bahwa
mereka menertawakan airmataku, namun tawa dan suara mereka itu benar-benar
menyiksa. Merasa terusik aku mencari meja yang lain. Pikirku aku tidak lagi akan
terganggu jika berada bersebelahan meja dengan pegawai perpustakaan yang
biasanya mencatat data-data peminjam buku. Tapi baru saja pantatku menyentuh
kursi yang bersebelahan dengannya tiba-tiba semua orang di dalam perpustakaan
menertawakanku. Perempuan, laki-laki, yang tua, yang muda. Mereka semua
menertawakanku. Yang lebih brengsek adalah petugas perpustakaan itu sendiri. Ia
bahkan mengarahkan jari tepat di depan hidungku..
“Hahahahaha…
hahahaha… hahaha… hahahahah..”
“Hahahahah….
Hahahaha… hahaha… hahahahah…” Semua orang mengerubuniku sembari tertawa dan
membidiku dengan telunjuk.
“Hahahahaha….
Hahahahaha…. Hahahahaha….”
“Hahahahaha….
Hahahahaha…. Hahahahaha….” Tawa mereka menggema dalam kupingku ketika aku
berlari keluar meninggalkan perpustakaan. Saat berlari aku berjanji untuk tidak
lagi kembali ke perpustakaan itu. Aku tidak mau lagi ditertawakan.
“Itu dia..”
teriak seorang satpam “Hahahaha… itu dia… hahahahaha”
“Itu dia
kan? Tanya Polisi pada satpam”
“Iya itu
orangnya. Hahahaha…… hahahaha…..” Keduanya tertawa. Semua orang tertawa. Dan telunjuk
mereka itu, masih terus mengarah padaku.
Aku berlalu
sembari menunduk. Melihat ketidak berdayaanku semua orang malah semakin
tertawa. Pedagang asongan, pendeta, pemilik toko, pegawai negeri, satpam, pemadam
kebakaran, polisi, kiai, pelajar, mahasiswa, tentara, aktifis, sarjana. Dari pengangguran
alias tak berpangkat sampai pada mereka yang berpangkat-pangkat kuadrat,
semuanya tertawa.
Disaat aku
merasa bahwa dunia telah menertawakanku, aku mendengar suara tangisan yang
lirih. Suara tangisan yang memikul beban berat. Suaranya pelan dan syahdu. Saat
suara tangisan itu semakin mendekat aku merasa pohon-pohon mati. Angin tak
berhembus, udara beku. Namun ketika kupalingkan pandangan pada kelompok
orang-orang yang tertawa hal itu justeru berubah. kesibukan kota, lalu-lalang
kendaraan serta semua ego dan kegilaan lah yang nampak.
Kembali kupusatkan
pendengaran pada tangis itu. Poho-pohon kembali mati, udara berhenti, langit
yang awalnya merah ranum menjadi gelap. Aku seperti merasa berada di dimensi
lain dunia ini. Aku tak lagi perduli dengan dimensi hiruk-pikuk dan semakin
menikmati suara tangis itu.
Gincu
dibibirnya telah memudar, rambutnya acak-acakan, daster berwarna ungu yang tadi
di angkat sampai ke dada sembari mengejarku sudah tak lagi ada. tubuhnya yang
memang tak menggunakan pakaian dalam sewaktu mengejarku kini benar-benar telah
bugil. Ia terlentang ditengah aspal panas yang membakar nasibnya sembari
menikmati tangisannya sendirian. Giginya yang kuning sama sekali tak kulihat
lantaran tangis ia dengarkan telah membutakan mata, telah membutakan hatiku.
Aku tidak
ingin lagi mendekatinya, melainkan terus berlalu. Airmata yang tadi sempat kuumbar
di perpustakaan yang merupakan sarang dari segala ilmu juga telah
kusembunyikan. Yah! kusembunyikan lantaran aku merasa kalah dengan airmata si
gadis berdaster ungu yang tak lagi berdaster. Dan saat tengah berlalu seorang anak
kumuh dekil dengan baju sobek mendekatiku.
Ia berucap
dengan pilu,
“Kakaku itu
gila. Dulu diperkosa. Maaf kan kakak saya," ia terhenti, sedikit malu-malu dilanjutkannya,
"Menawarkan kemaluannya
pada Om.”
Aku berlalu
meninggalkan gadis gila yang sering kurindukan bau busuk tubuhnya yang menusuk
hidung. Aku meninggalkan bau tubuhnya sembari berjanji dalam hati aku tidak
akan membaca lagi jika belum bisa mengejah apa yang dikatakan wanita itu,
'Mengejah
Mata Hati'
Kamar, 09 April 2012
eL_g. Noerz
(Didedikasikan untuk para wanita korban kekerasan seksual)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar