Sabtu, 10 Agustus 2013

GAGAP BENCANA NATURAL DAM WAE ELA DESA NEGERI LIMA
Lokasi Barat (Patoi) terjadi kepanikan saat jebolnya Dam Wae Ela

1/2 Desa Negeri Lima dihantam air bah
Natural Dam Wae ela yang terletak di Desa Negeri Lima Kec. Leihitu Kabupaten Maluku Tengah terbentuk pada Juli 2012. Tebentuknya natural Dum Wae Ela ini dikarenakan terjadinya longsoran yang menghalangi jalannya aliran air yang bermuara di Desa Negeri Lima. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsoran antara lain yaitu :  

  1. Penebangan Liar yang dilakukan masyarakat setempat serta lemahnya sistim Pengawsan dan penindakan dari pemerintah dan pihak terkait terhadap person maupun kelompok-kelompok yang melakukan aktifitas illegal loging yang menyebabkan berkurangnya areal tadah hujan
  2. Curah hujan yang tinggi yang menyebabkan tanah menjadi ‘Jenuh’ (Tingginya kadar air tanah)
  3. Derajat Kemiringan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang tinggi 
Korban yang diselamatkan nelayan


Natural Dam Wae Ela terbentuk setelah sekitar 2.100.000 m3 material berupa batu, tanah dan pasir menghalangi aliran air, dan karena itu juga maka terbentuklah dam yang menampung air kurang lebih sebanyak 19.800.000 M3. Sudah barang tentu dengan adanya Dam Wae Ela  maka akan ada pula kekhawatiran masyarakat Desa Negeri Lima jika natural dam terbesar nomor 1 di Asia Tenggara itu sampai jebol. Mengingat struktur natural dam tidak bisa dikatakan kokoh lantaran material tanah yang menjadi ‘badan’ dam merupakan tanah labil dan masuk dalam kategori tanah yang gampang mencapai titik jenuh (Jenuh Air) belum lagi debit air yang selalu meningkat lantaran intensitas curah hujan yang tinggi di areal DAS
      Kekhawatiran Masyarakat Negeri Lima akhirnya terbukti. Hari kamis tanggal 25 Juli 2013, sekitar pukul 11.30 air telah meluap melewati pembatas (Pasangan Batu kali) yang dibangun guna mengantisipasi tinggi muka air yang selalu naik dan akhirnya menjebol Dam Wae Ela. Untuk hal ini BMKG (Badan Meteorologi dan Klimatologi) pantas di acungi jempol lantaran telah berhasil melakukan kalkulasi yang sangat tepat mengenai kemungkinan jebolnya natural Dam Wae Ela karena pengaruh intensitas curah hujan. kinerja dari BMKG ini lantas disambung oleh BNPB yang menyatakan bahwa kemungkinan besar tanggal 25 juli akan terjadi Dam Break pada Dam Wae Ela. Namun hal ini tidak diikutsertakan dengan kesigapan pihak-pihak yang terkait dengan bencana yang telah diramalkan ini, yakni :


Mencari Keluarga
          B.  Kelompok Gagap
1.     BNPB
2.     TAGANA 
3.     SAR
4.     TNI
5.     BPBD
Selain itu juga pihak Kontraktor dan Badan Pemerintah pun patut disalahkan, yakni kelomok-kelompok yang menangani pembangunan Dam Wae Ela ini, kelompok-kelompok itu yakni :

B. Kelompok Malas
1.     Dinas PU dan instansi terkait lainnya
2.     Pihak Kontraktor
Saya berani mencaplok mereka sabagai sekelompok/badan yang gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Penilaian saya ini terkait dengan kinerja yang terlihat di lapangan. Hal ini berdasarkan pemantauan langsung pada 2 hari pra jebolnya Dam Wae Ela terhadap kelompok ‘A’ yang saya namai sebagai kelompok ‘Gagap’. 

Penyaluran logistik
kebodohan kelompok ‘A’ sebagai berikut :
1.     BNPB sama sekali belum memiliki update data real tentang alokasi serta jumlah pengungsi pra bencana. Hal ini terbukti lantaran saya bersama beberapa kawan yang tergabung dalam Tim PAM (Pecinta Alam Maluku) dan MANTAB (Mahasiswa Tanggap Bencana) di tugaskan untuk melakukan update data terhadap masyarakat yang nantinya mengungsi kewilayah barat Desa Negeri Lima (Camp pengungsian Patoi)
2.     BNPB tidak memiliki data elevasi yang nantinya digunakan untuk meramalkan wilayah-wilayah yang bisa terkena dampak dari jebolnya Dam Wae Ela. Saya berani buka-bukaan dan berani bertanggung jawab terhadap apa yang saya cantumkan di postingan ini. hal ini lantaran pada saat sehari sebelum jebolnya Dam Wae Ela saya  dan beberapa rekan yang tergabung dalam PAM (Pecinta Alam Maluku) dan MANTAB (Mahasiswa tanggap Bencana) dimintai bantuan untuk mengukur elevasi (dasar sungai, dan beberapa titik di Desa Negeri Lima) dan yang lebih anehnya BNPB tidak memfasilitasi kami dengan GPS maupun alat sejenisnya. Sekedar untuk ketahuan khalayak, bahwa GPS yang kami gunakan adalah hasil pinjaman.
Penulis
3.     BNPB sama sekali tidak memiliki data mengenai kandungan kadar air yang terdapat pada material badan dam (tanah, Batu dan Pasir). Sekedar pemberitahuan bahwa data kadar air yang terkandung dalam material pembentuk dam sangatlah penting, data ini biasanya digunakan untuk mengetahui seberapa kuat material mampu menerima beban dan tekanan dari isi dam (Air) dan juga untuk mengetahui titik jenuh tanah terhadap air yang bisa menyebabkan jebolnya natural Dam. Secara tidak langsung saya dimintai untuk menghitung kadar air tersebut oleh seorang rekan dari LSM URDI untuk menghitung kadar dalam material dam. Namun hal ini tidak sempat saya dan kawan-kawan laksanakan, lantaran kondisi serta waktu sudah tidak memungkinkan.
4.     2 hari pra bencana Kami sempat mengusulkan kepada TAGANA dan BNPB untuk membangun dapur umum di lokasi bagian barat (Camp Patoi) mengingat sebagian pengungsi nantinya akan bermukim di camp tersebut. Namun dapur Umum yang nantinya berguna untuk menopang keberlangsungan hidup pengungsi tidak direalisasikan, dan baru ada setelah 3 hari pasca bencana. Bisa dibayangkan betapa kondisi pengungsi di wilayah patoi harus survive untuk bertahan hidup dalam kurun waktu empat hari tersebut.
5.     Sehari pasca bencana, Tentara nasional Indonesia (TNI) yang selalu terlihat gagah dan berani sudah tidak ada batang hidungnya di POS induk pemantuan (Sekitaran Rumah Pejabat Pemerintahan Desa Negeri Lima) entah kemana mahluk-mahluk yang selalu sok dengan setelan loreng ini. mereka-mereka yang seharusnya ada di garda depan dalam menyikapi kondisi seperti ini malah raib, hilang ditelan kegagahan.
6.     Tidak adanya persiapan logistik dari kelompok ‘Gagap’ ke wilayah barat (Camp Patoi) yang jumlah jiwa warga yang bakal mengungsi diperkirakan sekitar 946 jiwa yang terdiri dari orang dewasa, lansia, bayi dan balita. Mereka yang harusnya bertanggung jawab menggunakan alasan putusnya sarana transportasi (jembatan, jalan, derasnya air) sebagai alasan untuk tidak memasok logistic. Pada hari ‘H’. jika itu adalah alasan yang diutarakan maka kita pun bisa mengajukan pertanyaan seperti ini :
-        BNPB telah mengeluarkan statmen beberapa hari sebelum bencana, bahwa pada tanggal 25 Juli kemungkinan Dam Wae Ela akan mengalami Dam Break (jebol). Kenapa  hal ini tidak disikapi dengan langsung memasok logistik dan mendirikan dapur umum di wilayah barat, apakah kelompok ‘Gagap’ ini terlalu bodoh untuk tidak membangun dapur umum di wilayah barat? (Camp Patoi)
-        Apakah jalur penyeberangan laut tidak bisa digunakan setelah sarana transportasi terputus?
7.     Lantas jika sarana Transportasi terputus kenapa Relawan-Relawan yang bekerja hanya berdasarkan rasa kemanusiaan dan kepeduliaan bisa memasok logistic ke lokasi barat (Camp Patoi) pada hari jumat pukul 02.00 dini hari dengan ,menyebarangi sungai?. Sekedar pemberitahuan, bahwa Camp patoi telah dapat ditembus dengan melakukan penyeberangan memotong aliran sungai pada sekitar pukul 21.00, yakni Sembilan jam setelah jebolnya Dam Wae Ela.
8.     SAR yang juga termasuk dalam kelompok ‘gagap’ sama sekali tidak kelihatan dilokasi barat guna melaksanakan tugas. Masyarakat yang seharusnya dievakuasi malah dibiarkan menikmati kepanikan. Saya menjadi saksi nyata bagaimana dengan gigihnya rekan-rekan dari MANTAB dan PAM yang hanya berjumlah 3 orang melakukan evakuasi meskipun tanpa perlengkapan dan alat seperti yang dimiliki oleh SAR yang kali itu saya caplok sabagai ‘banci’.
Sehari setelah bencana terjadi Masyarakat Indonesia telah ditipu oleh media bahwa SAR melakukan evakuasi terhadap keseluruhan korban yang hanyut disapu aliran air ke laut. Padahal yang melakukan sebagian evakuasi korban tersebut adalah nelayan-nelayan dari Desa Ureng dan sekitarannya.
9.     Pada hari ‘H’ sebagian pengungsi di pos pengungsian induk (Latan) hanya mengkonsumsi mie instant, sedangkan mereka yang bertanggung jawab terhadap nasib pengungsi (TAGANA, BNPB dan badan-badan ‘gagap’ lainya justru menikmati ransum yang kaya gizi, juga falbet yang nyaman.
10.  Jika mereka selalu mengagungungkan slogan tanggap bencana maka saya berani membantah hal tersebut. Sebab yang dinyatakan tanggap bencana adalah segala sesuatu menyangkut penanganan bencana haruslah telah disiapkan dari awal, apalagi BMKG telah mengumumkan kemungkinan jebolnya Dam Wae Ela pada hari tersebut. Hal ini justru berbanding terbalik dengan slogan Tanggap Bencana tersebut. Kenyataan di lapangan pada saat Evakuasi dilakukan, para pengungsi melantai di atas tanah seadanya, penerangan di dalam tenda pengungsian sama sekali tidak ada. Sedangkan Tenda-tenda milik mereka yang dicaplok sebagai orang-orang yang tanggap bencana justru terang benderang dilengkapi dengan falbet pula.
11.  Sampai hari kedua sebagian pengungsi masih tinggal di tenda-tenda pengungsian yang sabagiannya masih beralaskan tanah, pada hari ke dua pasca bencana hanya terdapat 2 buah sarana MCK yang dipungsikan untuk ribuan pengungsi.
12.  Bukan rahasia umum bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok ‘gagap’ tidak memiliki korelasi yang baik. Bahkan ada ego-ego konstitusi pada badan-badan pemerintahan ini.
Anggota PAM dan MANTAB

Kebodohan Kelompok ‘B’ (Kelompok Malas)
1.     Dinas Pekerjaan Umum tidak mampu mendesak pihak kontraktor untuk segera menyelesiakan proses pembangunan spill way dalam satu tahun setelah Dam Wae Ela terbentuk.
2.     Pihak Kontraktor pun harus bertanggung jawab. Hemat saya yang saat ini bekecimpung dalam dunia konsultan konstruksi, hal tersebut paling lambat dapat diselesaikan dalam kurun waktu 8 bulan. Mengingat kontraktor yang menangani konstruksinya tergolong perusahan yang besar dengan seabrek pengalaman dan bukankah data teknis untuk konstruksi telah dikantongi? Jika alasan yang dikemukakan adalah lantaran cuaca maka hal itu adalah alasan bodoh dan tidak masuk akal. Bukankah selama masa pengerjaan yang mencapai satu tahun, mereka didampingi dua buah pompa air berkapasitas super besar? Belum lagi dana ratusan milliard telah dikucurkan untuk program pembangunannya.
3.     Bukankah intensitas curah hujan selama setahun terkesan wajar, dan baru mencapai puncaknya terhitung 12 bulan setelah Dam Wae Ela terbentuk. Lantas apa yang kontraktor kerjakan selama sebelas bulan yang telah berlalu? tidak cukupkah waktu selama itu untuk melakukan pemadatan material serta pembangunan spill way?
4.     Berdasarkan penuturan masyarakat bangunan penyanggah yang dibuat di bibir Dam yang berfungsi untuk memperlambat luapan air tidak menggunakan Konstruksi beton bertulang, melainkan hanya berupa pasangan Batu kali. Bagaimana mungkin konstruksi seperti itu bisa menahan tekanan air dari isi Dam?
5.     Saya berani menyangga penuturan salah satu staf ahli pada proyek Natural Dam Wae Ela, yang dimuat dalam Ambon Ekspres edisi JUMAT, 26 Juli 2013 yang menepis kalau rusaknya sebagian Dam Wae Ela (Dam Break) akibat rendahnya kualitas bangunan spill way maupun lambannya penanganan teknis. Alasan saya sebagai berikut :
- Salah satu bagian pada bangunan peluncur memiliki sudut kemiringan mencapai 60 derajat. Mana mungkin derajat bangunan peluncur dibuat seperti itu (60 derajat) bagaimana mungkin koofisien gesekan yang ditimbulkan akibat Scooring (gerusan) tidak merusak struktur. Apa sih susahnya melakukan penimbunan dan pemadatan guna menormalisasi sudut kemiringan bangunan peluncur? Saya heran bagaimana mungkin mereka yang memiliki kapabilitas dalam bidang teknik bisa mengacuhkan salah satu prinsip konstruksi (semakin krusial sudut kemiringan maka potensi Scooring terhadap struktur bangunan semakin tinggi) lantas untuk apa pemerintah mengucurkan dana dari APBN yang mencapai ratusan milliard tersebut? Apakah uang sebanyak itu tidak mampu digunakan untuk melakukan pemadatan dan penimbunan sehingga sudut kemiringan dapat diubah?
- Normalisasi sungai yang dilakukan terkesan asal-asalan. Bayangkan saja lebar badan air yang di normalisasi rata-rata hanya selebar 6 m1 dengan kedalaman air rata-rata hanya 55 cm (data saat pengukuran menggunakan GPS satu hari sebelum bencana) bagaimana mungkin dengan dimensi seperti itu tidak terjadi penggerusan dan erosi? Bukankah semakin sempit suatu saluran maka semakin besar gesekan yang bakal ditimbulkan? Apalagi dengan debit air yang dimiliki Dam Wae Ela.
- Pihak yang mengerjakan Dam Wae Ela tidak bisa mengelak dengan alasan waktu lantaran 11 bulan adalah waktu yang sangat lama guna membangun konstruksi yang kokoh. Apalagi anggarannya mencapai ratusan milliard rupiah. Otomatis dengan sumberdaya dan waktu yang tersedia seharusnya Dam Break ini dapat dihindari.
Terputusnya aliran listrik
Berkaca dari pemaparan ilmiah di atas maka saya berani mengambil kesimpulan bahwa Jebolnya Dam Wae Ela bukanlah murni force mayor, melainkan akibat dari kelalaian.

Saya sadar bahwa pasti banyak pihak tidak setuju dengan apa yang tertuang dalam postingan ini terutama mereka yang sengaja telah saya sentil. Apabila ada pembelaan dari para pimpinan maupun kroni-kroni dari kelompok yang telah kami buat risau dengan ulasan ini maka saya juga memiliki pembelaan yang sangat kuat, saya ulangi lagi sangat kuat. Hal ini terkait dengan realitas lapangan yang terjadi :
1.     Tanggal 25 Pukul 01.00 dini hari pos induk pemantauan telah ditinggalkan. Dan yang tersisa hanyalah tim MANTAB dan beberapa rekan PAM.
2.     Saya memiliki dokumentasi (Foto dan Vidio) pada saat bencana terjadi, yang mana di daerah patoi sama sekali tak ada satu pun batang hidung dari mereka-mereka yang kami sebutkan di atas.
3.     Pada pukul 03.30 dini hari tanggal 25 Juli (hari ‘H’) saat alarm masih berbunyi seorang relawan bermaksud membantu seorang Lansia dan keluarganya guna menaiki Truck BNPB menuju daerah pengungsian (Latan), namun dicegat oleh sekitar 3 orang yang kemungkinan adalah anggota BNPB juga. Mereka mengatakan bahwa mobil tersebut tidak difungsikan untuk evakuasi, si lansia pun diarahkan kemobil truck milik perusahan yang menangani proyek Dam Wae Ela. Dan yang lebih aneh, mobil milik BNPB yang gagal ditumpangi si lansia dan keluarganya juga akhirnya menuju lokasi pengungsian dengan 3 orang tersebut. Riskan bukan?
4.     Koordinasi yang kami bangun (Pecinta Alam Maluku & Mahasiswa Tanggap Bencana) bersama kepala BNPB (Pak Bob) satu jam pasca bencana - mengenai kebutuhan para pengungsi di wilayah barat (Camp Patoi) dan yang bersangkutan menyatakan
“Saya akan mengerahkan pasukan secepatnya ke wilayah patoi”.
beliau kemudian melanjutkan, “Upaya untuk masuk ke Wilayah Patoi akan dilakukan lewat daerah Laha”. Seketika itu relawan di daerah Patoi yang hanya berjumlah tiga orang dikabari agar tetap dilokasi guna menunggu logistic yang dijanjikan. Namun bantuan yang dijanjikan sama sekali tak kunjung tiba hari itu. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh salah seorang petinggi BANSOS (Ibu Tini) yang menangani dapur umum, setelah beliau meminta data pengungsi wilayah patoi dari rekan-rekan MANTAB dan PAM. Bayangkan sampai hari ‘H’ mereka tidak memiliki data mengenai penempatan pengungsi yang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Lantas apa yang dimaksudkan pemerintah dengan TANGGAP BENCANA itu? Buat apa Simulasi bencana dilakukan dengan mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit jika hasil dari simulasi itu nihil?
Terlepas dari semua permasalahan dan kebodohan kelompok ‘GAGAP DAN MALAS’ lakukan, maka yang harus di pertanyakan adalah :
-        Buat apa mereka semua digaji oleh rakyat?
-        Dimana kematangan yang terjalin dan sengaja dipertontonkan di layar TV lewat simulasi bencana yang terkesan disinetronkan?
Dan yang lebih utama, dimana rasa kemanusiaan mereka-mereka yang gajinya dibayar oleh rakyat?
Koordintor PAM (Ajan) sedang memberikan arahan
Apresiasi yang sebesar-besarnya tidak patut diberikan kepada mereka-mereka yang bermental tempe yang dibiayai dengan uang rakyat. Dan slogan Tanggap Bencana saat itu harusnya diubah menjadi Gagap Bencana.
Rapat PAM
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan ketabahan dan kesabaran bagi saudara-saudara kita yang menjadi Korban jebolnya Dam Wae Ela Desa Negeri Lima.
Riki (Koordinator MANTAB) di pos induk
Rasa haru dan bangga pernah bekerja sama dengan kalian, orang-orang yang hadir atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan: Bang Gopal, Momon, Ais, Tom, Mance, Apu, Nharo, Akon, Riki, Brian. Rekan-rekan relawan dan koordinator Posko MANTAB, PAM, komunitas maupun perorangan yang telah memberikan bantuan baik materi maupun fisik, juga semua orang yang telah mengerahkan segala kemampuan  demi kemanusiaan.
Bersama Tim Dompet Duafa menghibur anak-anak korban bencana


menyeberangi sungai demi suplai logistik


Bung Rudi Povic sibuk Menyortir bantuan


Peta Areal bencana